JKN Defisit, Neraca Keuangan BPJS Kesehatan Perlu Dipublikasi
Berita

JKN Defisit, Neraca Keuangan BPJS Kesehatan Perlu Dipublikasi

Setiap tahun diaudit akuntan publik.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES

Defisit dana jaminan sosial (DJS) program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyebabkan BPJS Kesehatan kesulitan membayar klaim fasilitas kesehatan (faskes) yang telah memberikan pelayanan kepada peserta. Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah defisit JKN yakni menaikan besaran iuran.

Tapi sebelum menaikan besaran iuran, mantan koordinator KontraS Jakarta itu mengusulkan agar neraca keuangan BPJS Kesehatan diaudit dan hasilnya dipublikasikan. Sayangnya, audit keuangan itu tidak masuk dalam rekomendasi hasil rapat antara Wakil Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan, DJSN, dan BPJS Kesehatan dengan Komisi IX DPR beberapa waktu lalu.

“Tidak ada yang merekomendasikan pemeriksaan (audit) atau membuka neraca keuangan kepada publik sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas lembaga yang menjamin kesehatan jutaan warga negara Indonesia tersebut,” kata Haris dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (26/9).

Haris juga mengkritik tudingan yang menyebut peserta JKN kategori peserta bukan penerima upah (PBPU) atau mandiri menjadi salah satu penyebab defisit JKN. Dari riset yang dilakukan Lokataru tahun 2018, Haris menemukan sedikitnya dua persoalan yang menyebabkan peserta mandiri sulit membayar iuran. Pertama, data peserta JKN mengacu pada kartu keluarga (KK) yang bergantung pada kecepatan pemutakhiran data administrasi kependudukan oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil (Disdukcapil).

(Baca juga: Inilah 12 Ketentuan dalam Perpres Jaminan Kesehatan yang Perlu Dicermati).

Ketika ada perubahan data anggota keluarga seperti kematian dan perceraian, peserta harus terlebih dulu memperbaruinya di kantor Dukcapil setempat. Proses itu menurut Haris perlu dilakukan untuk memastikan pembayaran iuran yang dilakukan peserta tidak terhambat karena perubahan data kependudukan. Syarat administrasi KK itu menghambat peserta mandiri untuk tertib membayar iuran.

Haris menilai ketentuan itu diambil tanpa memperhatikan konsekuensi yang muncul dari kualitas pelayanan administrasi kependudukan yang seringkali lambat dalam menerima layanan pembaruan KK. Belum lagi ketentuan masa tunggu aktivasi kepesertaan mandiri selama 14 hari setelah pendaftaran, membuat peserta harus menunggu lama.

Kedua, mengenai transisi kepesertaan BPJS Kesehatan menjadi peserta mandiri ada jeda waktu enam bulan untuk transisi perubahan status tersebut. Mekanisme perubahan status itu membebani calon peserta mandiri karena prosesnya berbelit. Persoalan lainnya yakni ada kebijakan BPJS Kesehatan yang berdampak pada pelayanan peserta. Misalnya, Surat DIrektur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 2004/III.2/2018 dinilai menghambat pasien untuk mendapat pengobatan Trastuzumab. Harga obat untuk kanker itu terlalu mahal dan tidak memberikan efek medik yang bermakna.

“Berdasarkan temuan dan pemantauan itu Lokataru mendorong pentingnya hasil audit menyeluruh, tidak hanya dalam konteks arus kas dan keuangan, tapi secara menyeluruh dalam audit BPKP itu secara substantif, apa yang menghambat peserta mandiri untuk membayar iuran secara rutin,” urainya.

Kebijakan Pemerintah untuk mengucurkan dana bantuan untuk mengatasi defisit JKN melalui pajak cukai rokok menurut Haris sifatnya hanya sementara. Paling penting, Dirut BPJS Kesehatan harus mengantisipasi defisit yang masih berpotensi terjadi ke depan. “Menaikkan iuran mungkin jadi salah satu solusi, namun tanpa penjelasan yang kredibel mengenai alasan kenaikan iuran justru berpotensi mengurangi minat publik untuk bergantung pada layanan BPJS Kesehatan,” ucapnya.

Sebelumnya Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, mengatakan pemerintah sudah menyiapkan dana cadangan sebesar Rp4,9 triliun. BPJS Kesehatan telah menyampaikan jumlah defisit sebesar Rp16,5 triliun. Hasil peninjauan BPKP terhadap besaran defisit itu menunjukan ada koreksi sekitar Rp5,5 triliun. “Mengacu hasil review BPKP itu jumlah defisit besarnya Rp10,9 triliun,” urainya.

Anggota DJSN, Asih Eka Putri, mengatakan setiap tahun BPJS Kesehatan wajib diaudit oleh akuntan publik. Audit itu dilakukan terhadap pengelolaan program dan keuangan tahunan BPJS Kesehatan. Hasil audit itu dilaporkan kepada Presiden dengan tembusan ke DJSN. Ketentuan itu telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. “Setiap tahun BPJS Kesehatan diaudit oleh akuntan publik,” katanya ketika dihubungi, Rabu (26/9).

Selain itu Asih menjelaskan laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan itu dipublikasikan dalam bentuk ringkatasan eksekutif melalui media massa elektronik dan paling sedikit 2 media massa cetak.

Tags:

Berita Terkait