Judul RUU Larangan Minuman Beralkohol Bakal Diubah
Berita

Judul RUU Larangan Minuman Beralkohol Bakal Diubah

Agar dapat mengakomodir kepentingan disemua sektor dan tidak diskriminasi.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Minuman beralkohol (ilustrasi). Foto: RES
Minuman beralkohol (ilustrasi). Foto: RES
Resmi sudah Rancangan Undang-Undangan (RUU) Larangan Minuman Berakohol (Minol) menjadi inisiatif DPR. Penegsahan tersebut ditandai dengan palu sidang yang diketuk pimpinan rapat paripurna, Fahri Hamzah di Gedung DPR, Jumat (3/7). Pasalnya, sepuluh fraksi dalam pandangannya memberikan persetujuan. Meski sudah resmi menjadi inisiatif DPR, judul RUU Larangan Minol bakal diubah judulnya.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg), Firman Subagyo, mengamini pengesahan RUU Larangan Minol menjadi inisiatif DPR. Menurutnya pembahasan di tingkat Panja Baleg telah rampung. Selanjutnya, RUU tersebut bakal diserahkan di tingkat Panja atau Pansus menjadi kewenangan di tingkat selanjutnya.

Hanya saja, kata Firman, judul RUU tersebut bakal diubah. Sebab, diubahnya judul dengan pertimbangan banyaknya kepentingan dari berbagai sektor. Misalnya sektor pariwisata, budaya, tenaga kerja dan industri. Dia menilai diubahnya judul RUU, setidaknya menjadi jalan tengah agar dapat mengakomodir semua pihak tanpa memojokan satu pihak.

“RUU Larangan Minol kemungkinan bakal diganti judulnya. Karena ada banyak kepentingan masyarakat secara umum. Jadi kita tidak boleh diskriminasi, karena ada kepentingan pariwisata dan lainnya,” ujarnya kepada hukumonline.

Politisi Parta Golkar itu berpandangan minuman beralkohol mesti diatur dengan aturan yang bersifat spesifik. Pasalnya dari minuman beralkohol terdapat sisi negatif dan positif. Sisi negatifnya, tentu saja dari kesehatan tak layak dikonsumsi berlebihan. Apalagi minuman jenis oplosan amatlah berbahaya yang berujung hilangnya nyawa pengkonsumsi minuman beralkohol. Sedangkan sisi positifnya, membantu pendapatan negara melalui sektor pariwisata, dan ketenagakerjaan.

“Jadi RUU ini tidak boleh diskriminasi, dan tidak boleh mematikan sektor lain. Pada dasarnya RUU ini akan menjadi payung hukum supaya ada kepastian hukum,” ujarnya.

Mantan wakil Ketua Komisi IV DPR periode 2009-2014 itu lebih jauh mengatakan dalam pembahasan Panja Baleg, setidaknya sudah menyisir sejumlah pasal-pasal pelarangan yang bersifat represif. Menurutnya, RUU Larangan Minol setelah diubah judulnya diharapkan menjadi payung hukum.

“Oleh karena itu, aspek positif dan negatif perlu dipertimbangkan. Karena UU dibuat untuk melindungi masyarakat, terhadap pelanggar akan ada sanksinya,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui sepuluh fraksi memberikan persetujuan meski dengan beberapa catatan.Diantaranya FPKS, Demokrat, PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, Nasdem, Gerindra, dan Hanura. Terhadap persetujuan itu, RUU Larangan Minol bakal diboyong dalam rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi usul inisiatif DPR.

Anggota Baleg dari Fraksi Hanura Dossy Iskandar dalam pandangan fraksinya menilai pembentukan RUU Larangan Minol merupakan bagian dari upaya memberikan perlindungan terhadap generasi bangsa dan negara. Pasalnya, dampak Minol amatlah negatif jika tidak diatur dengan regulasi. Akibatnya akan membahayakan generasi muda bangsa dan negara. “Oleh sebab itu diperlukan pengaturan dampak negatif dari Minol ini,” ujarnya.

Pembentukan dan penyusunan RUU Larangan Minol tak saja sebagai perlindungan terhadap generasi muda, tetapi juga bagi sektor tenaga kerja, kesehatan, sosial dan ekonomi. Atas dasar itulah Fraksi Hanura berpandangan langkah DPR menjadi pengusul RUU Larangan Minol dipandang tepat.

“Maka “Fraksi Hanura menyatakan persetujuannya untuk kemudian dibahas di tingkat selanjutnya,” ujar anggota Komisi III itu.

Juru bicara Fraksi PKS Al Muzzamil Yusuf menilai setidaknya 18 ribu orang pertahun meninggal akibat dampak dari Minol. Negara barat dan eropa sekalipun memberikan perhatian khusus terhadap dampak dari Minol. Indonesia sebagai negara yang berketuhanan  mesti mengatur dengan ketat pengendalian Minol di tengah masyarakat.

Kendati demikian, FPKS tidak menutup akan kebutuhan sektor pariwisata terhadap Minol. Persoalan kesepatan perlunya aturan pelarangan dan pengecualian terhadap Minol menjadi jalan tengah agar dapat mengakomodir semua pihak melalui RUU Larangan Minol tersebut.

“RUU ini sebagai ikhtiar, maka FPKS menyetujui draf RUU Larangan Minol ini untuk dilanjutkan dalam rapat paripurna DPR,” ujar anggota komisi III itu.

Sementara FPDIP dalam pandangannya yang dibacakan Irmanudi Lubis menilai meski terlambat pembentukan RUU Larangan Minol lantaran sudah banyak korban berjatuhan, namun tetap dipandang penting. FDIP, kata Irmanudi, memberikan catatan mulai pemberian sanksi dalam Pasal 5 dan 7 cukup diatur minimal. Pasalnya, skala dan jenis Minol beragam jenisnya. Selain itu, pembahasan di tingkat Panja Baleg terkesan kurang maksimal dalam mengsinkronisasi dengan UU Cukai misalnya.
Tags:

Berita Terkait