Kasus Kewarganegaraan Ganda, Jalur Legislative Review Lebih Pas
Utama

Kasus Kewarganegaraan Ganda, Jalur Legislative Review Lebih Pas

Jamaah haji asal Indonesia yang menggunakan paspor Filipina pun terancam kehilangan kewarganegaraan.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Pelaku perkawinan campuran berpose dengan pejabat Kementerian Hukum dan HAM, serta Prof. Satya Arinanto di Jakarta, Kamis (25/8). Foto: MYS
Pelaku perkawinan campuran berpose dengan pejabat Kementerian Hukum dan HAM, serta Prof. Satya Arinanto di Jakarta, Kamis (25/8). Foto: MYS
Kisah Gloria Natapradja Hamel, anggota pasukan pengibar bendera 17 Agustus 2016, terus menggelinding, bahkan ke ranah hukum. Ira Natapradja, ibu Gloria sudah mendaftarkan permohonan judicial review UU No. 12 Tahun 2006  tentang Kewarganegaraan ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan itu kemudian dicabut.

Ira bukan satu-satunya yang ingin mempersoalkan UU Kewarganegaraan. Dalam diskusi yang digelar komunitas Perkawinan Campuran dan Ditjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta, Kamis (25/8) suara yang menginginkan revisi terdengar kuat. Satu dasawarsa Undang-Undang Kewarganegaraan diberlakukan ternyata banyak masalah yang terjadi di lapangan. Kasus Gloria dan mantan Menteri ESDM Archandra Tahar, contohnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Satya Arinanto, berpendapat mengajukan pengujian UU Kewarganegaraan terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh para pelaku perkawinan campuran atau pihak-pihak yang dirugikan. Tetapi judicial review bukan solusi yang pasti.

Kalaupun para pelaku perkawinan campuran merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 41 UU No. 12 Tahun 2006, bukan berarti memohon pengujian ke Mahkamah Konstitusi praktis dikabulkan. “Syukur-syukur kalau menang. Kalau kalah, Pasal 41 tetap berlaku,” tegasnya dalam talkshow Satu Dasawarsa UU Kewarganegaraan, Kamis (25/8).

Menurut Prof. Satya, legislative review lebih pas diajukan mengingat banyaknya masalah yang terjadi di lapangan. Dengan cara ini, DPR dan Pemerintah melakukan perubahan terhadap materi UU Kewarganegaraan. Termasuk kemungkinan menambah pasal untuk hal-hal yang belum diatur. Cuma, kalau materi muatan yang ingin diubah lebih dari 50 persen, Prof. Satya menyarankan dibuatkan UU Kewarganegaraan baru.

Peluang untuk legislative review juga ada. Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Freddy Haris, dan Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K. Harman menjelaskan RUU Kewarganegaraan sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional. “Nomor 59 dalam daftar Prolegnas, inisiatif DPR,” kata Freddy.

Benny menambahkan kalau memang ada perkembangan baru yang mendesak untuk diatur maka sebaiknya UU Kewarganegaraan direvisi. Ia hanya mengingatkan jangan sampai ide perubahan itu hanya karena ada peristiwa kelalaian seseorang, yakni lalai mendaftarkan anak hasil perkawinan campuran.

Kasus yang memantik diskusi hangat UU Kewarganegaraan bukan hanya kasus Archandra dan Gloria. Freddy Haris menyebutkan kasus jamaah haji Indonesia yang ditahan pemerintah Filipina juga menyerempet masalah kewarganegaraan. Para calon jamaah haji itu terancam kehilangan status WNI karena mereka memegang paspor Filipina.

Berdasarkan aturan, seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan jika memegang paspor negara lain. Indonesia menganut satu kewarganegaraan. Cuma, dalam kasus calon jamaah haji, diduga mereka korban penipuan. “Sudah tak jadi naik haji, mereka terancam kehilangan kewarganegaraan Indonesia,” kata Freddy.
Tags:

Berita Terkait