Kasus RUPSLB Bentoel Jadi Barometer Kepastian Hukum
Berita

Kasus RUPSLB Bentoel Jadi Barometer Kepastian Hukum

Jakarta,hukumonline Walaupun menjadi pemegang saham mayoritas, permintaan PT Bentoel Internasional Investama (BINI) untuk mengadakan RUPSLB ditolak manajemen PT Bentoel Prima. Kasus ini bisa menjadi barometer hukum. Karena ada kelalaian?

Leo/APr
Bacaan 2 Menit

Menurut Todung, ketika BINI meminta RUPSLB, agenda yang diajukan adalah untuk pergantian direksi dan perubahan Anggaran Dasar. "Tidak dijelaskan Anggaran Dasar mana yang dirubah dan Direksi yang mana yang diganti," kata Todung.

Selain itu, RUPS baru dilakukan pada 24 Agustus 2000. Akan tetapi, pada 28 Agustus ada surat permohonan dari BINI untuk mengadakan RUPSLB. Todung menjelaskan bahwa selama ini BP melakukan pinjaman-pinjaman kepada kreditur-krediturnya.

Dalam perjanjian kreditnya, menurut Todung, ada negative covenant di mana untuk pergantian direksi harus ada persetujuan kreditur. "Kalau direksi nggak jelas kapabilitasnya maka akan merugikan kreditur," tukas Todung.

Manajemen BP lalai?

Lucas sendiri tetap beranggapan bahwa manajemen BP telah lalai, mengingat kalau tidak ada teguran dari BINI, BP tidak akan mengadakan RUPS. Menurut Lucas, seharusnya permohonan untuk mengadakan RUPSLB tersebut demi hukum harus dikabulkan menurut UUPT. "Itu mutlak dan tidak bisa ditawar," ujarnya.

Lepas dari perdebatan di atas, banyak isu hukum yang menarik dikaji lebih lanjut berkaitan dengan kasus Bentoel ini. Apabila mengkaji ketentuan-ketentuan dalam UUPT , jangankan pemegang saham mayoritas (75%), pemegang saham minoritas (10%) berdasarkan pasal  66 (2) UUPT memiliki hak untuk meminta penyelenggaraan RUPS kepada direksi atau komisaris disertai alasannya. Harus dicari tahu lagi, apa agenda dan alasan BINI mengadakan RUPSLB dan mengapa BP keberatan atas permintaan BINI tersebut.

Apabila direksi dan komisaris tidak menyelenggarakan RUPS yang diminta, maka pemegang saham dapat mengajukan permohonan kepada Ketua PN (Pengadilan Negeri) setempat untuk melakukan pemanggilan RUPS. Berdasarkan pasal 67(1) UUPT, Ketua PN setempat dapat memberikan izin pemanggilan tersebut.

Sayangnya, belum diperoleh informasi menyangkut alasan penolakan pemanggilan RUPS yang dikeluarkan oleh PN Malang. Yang pasti, penetapan yang dikeluarkan PN Malang tersebur, berdasarkan pasal 67(4) UUPT tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Artinya, bisa jadi upaya BINI mengajukan kasasi menjadi sia-sia.

Tags: