Keadilan Restoratif Tidak Direkomendasikan untuk 3 Jenis Kejahatan Ini
Utama

Keadilan Restoratif Tidak Direkomendasikan untuk 3 Jenis Kejahatan Ini

Meliputi kejahatan HAM atau kejahatan oleh negara; Kejahatan yang pelakunya orang terhormat atau white collar crime; kejahatan yang pelakunya tidak merasa malu, tidak merasa bersalah dan merasa dirinya sebagai orang yang bermoral.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber dalam Webinar yang diselenggarakan FH Universitas Katolik Parahyangan bekerja sama dengan Indonesia Restorative Justice (IRJM) bertema 'Kajian Kritis Terhadap Implementasi Restorative Justice di Indonesia', Sabtu (31/7/2021) kemarin.
Sejumlah narasumber dalam Webinar yang diselenggarakan FH Universitas Katolik Parahyangan bekerja sama dengan Indonesia Restorative Justice (IRJM) bertema 'Kajian Kritis Terhadap Implementasi Restorative Justice di Indonesia', Sabtu (31/7/2021) kemarin.

Restorative justice atau keadilan restoratif (pemulihan keadilan) sudah diadopsi dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Misalnya, Peraturan Kapolri No.6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Prinsip keadilan restoratif juga bisa diterapkan pada sistem peradilan lainnya seperti perdata dan pidana umum yang lazim disebut konsep mediasi/arbitrase. Termasuk dalam sistem peradilan pidana anak. Tapi, ternyata tidak semua jenis kejahatan atau tindak pidana bisa diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.

Ketua Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Ni Made Martini Puteri, mengatakan setidaknya ada 3 jenis kejahatan yang tidak direkomendasikan untuk menggunakan mekanisme keadilan restoratif. Pertama, pelanggaran HAM atau kejahatan yang dilakukan oleh negara. Misalnya pejabat menerbitkan kebijakan yang membuat hak warga negara terabaikan, ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah melindungi masyarakat.

“Jika menggunakan keadilan restoratif, maka akan mengabaikan perlindungan terhadap individu dan harkat martabat manusia,” kata Ni Made Martini dalam webinar yang diselenggarakan FH Universitas Katolik Parahyangan bekerja sama dengan Indonesia Restorative Justice (IRJM), Sabtu (31/7/2021) kemarin. (Baca Juga: Akademisi Usul Restorative Justice Dituangkan dalam UU)   

Kedua, kejahatan yang pelakunya orang terhormat atau white collar crime. Martini berpendapat kejahatan kerah putih memiliki kekuasaan dan kejahatannya relatif sulit dibuktikan. Ketiga, kejahatan dimana pelakunya tidak memiliki rasa malu atau bersalah, dan malah merasa dirinya bermoral.

Misalnya kasus korupsi, pelakunya kerap membangun citra bahwa dirinya sebagai orang bermoral. Hal ini juga bisa membuat bingung orang awam dan bahkan dapat mengaburkan pandangan hakim, apalagi jika ini kejahatan yang pertama kali dilakukan oleh yang bersangkutan.

“Restorative justice harus dilaksanakan secara selektif, menggunakan kriteria dan petunjuk pelaksanaan serta evaluasi berbasis bukti dan data,” kata Martini.

Martini menyimpulkan keadilan restoratif dapat menjadi jalan keadilan, tapi pelaksanaannya butuh sistem peradilan yang tidak korup. Upaya itu bisa dilakukan antara lain dengan meningkatkan rekrutmen aparat penegak hukum yang memiliki keterampilan dan integritas.

Certified Mediator Pusat Pelatihan Pengembangan Pendayagunaan Mediasi (P4M), Andrea H Poeloengan, menyebut restorative justice adalah pendekatan untuk mencapai keadilan yang melibatkan seluas mungkin mereka yang memiliki kepentingan dalam pelanggaran atau kerugian tertentu yang secara kolektif (bersama-sama) mengidentifikasi dan mengatasi kerugian, kebutuhan, dan kewajiban untuk memulihkan, dan memperbaiki keadaan sebaik mungkin.

“Restorative justice ini bukan hal baru, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila,” kata Andrea H Poeloengan dalam kesempatan yang sama.

Tujuan keadilan restoratif yakni menempatkan kunci keputusan kepada mereka yang paling terkena dampak kejahatan. Menjadikan keadilan lebih memulihkan dan idealnya lebih transformatif. Mengurangi kemungkinan pelanggaran di masa depan.

Untuk mencapai tujuan itu korban dilibatkan dalam proses dan keluar dari proses tersebut dengan merasa puas. Pelaku memahami bagaimana tindakan mereka telah mempengaruhi orang lain dan bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Hasilnya dapat membantu memperbaiki kerugian yang terjadi dan mengatasi alasan terjadinya pelanggaran.

“Korban dan pelaku sama-sama merasakan ‘pengakhiran’ (masalah) dan keduanya diintegrasikan kembali ke masyarakat,” ujar Andrea.

3 konsep restorative justice

Akademisi Hukum pidana FH Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, mengatakan restorative justice adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan terdampak suatu tindak pidana.

“Jadi ini bukan sekedar pemulihan berbasis hak, tapi sesuai kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan terdampak. Lingkungan itu bisa komunitas/masyarakat,” kata Agustinus.

Agustinus menjelaskan setidaknya ada 3 konsep keadilan restoratif. Pertama, keadilan restoratif dipandang sebagai suatu proses penyelesaian persoalan yang ditimbulkan dari suatu kriminalitas dengan cara mempertemukan korban, pelaku, dan pemangku kepentingan lainnya dalam suatu forum informal yang demokratis untuk menemukan solusi yang positif.

Bila dilakukan dengan benar, cara ini diyakini akan mengubah perilaku pelaku, pencegahan, menyadarkan para pihak akan pentingnya norma yang telah dilanggar, dan memungkinkan pemulihan kepada korban lewat restitusi.

Kedua, keadilan restoratif dipandang sebagai suatu konsepsi keadilan yang mengutamakan pemulihan terhadap kerugian daripada sekedar memberikan penderitaan kepada pelakunya. Agustinus melanjutkan para pendukung konsep ini percaya ketika suatu kejahatan terjadi, suatu yang benar harus dilakukan, khususnya tentang apa yang harus dilakukan untuk membangun kembali hubungan yang benar.

Ketiga, ada yang meyakini resorative justice sebagai “way of life”. Pendukung konsep ini memandang restoratif justice tidak hanya soal perubahan pendekatan terhadap kejahatan, tapi harus lebih jauh lagi yaitu dalam rangka mencapai masyarakat yang adil, yang hanya bisa dicapai melalui suatu transformasi untuk memahami keberadaan kita sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan lingkungan.

Tags:

Berita Terkait