Kebijakan Ekonomi Pemerintah Dinilai Tidak Konsisten
Berita

Kebijakan Ekonomi Pemerintah Dinilai Tidak Konsisten

Menkeu mengklaim paket kebijakan yang telah dikeluarkan memberikan efek terhadap perekonomian.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Kebijakan Ekonomi Pemerintah Dinilai Tidak Konsisten
Hukumonline
Tahun 2013 hampir berlalu. Tahun ini dinilai sebagai tahun yang penuh kperihatinan bagi Indonesia. Pasalnya, awal tahun dibuka dengan revisi yang signifikan atas berbagai target capaian ekonomi baik pertumbuhan ekonomi, ekspor, investasi dan sebagainya. Memang, koreksi target merupakan hal lumrahdanhampir semua negara melakukannya untuk merespon perlambatan global. Namun bagi Indonesia,pemangkasan target harus dilakukan karena pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan administered price lainnya.

Begitulah pandangan dari Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini di Jakarta, Rabu (18/12). “Kendati target telah dipangkas menjadi hanya 6,9 persen, realisasinya hanya sebesar 5,2 persen,” kata Hendri.

Selain masalah angka, evaluasi atas pilihan kebijakan ekonomi jauh lebih penting dibanding hanya sekedar menilai capaian pemerintah. Hendri menilai pemerintah sering bersikap denial atau mengingkari terhadap kondisi yang ada, sehingga respon kebijakan yang diambil cenderung ala kadarnya dan tidak memadai untuk menyelesaikan masalah pokok. Tidak heran, bila akhirnya kebijakan ekonomi yang dikeluarkan justru tidak konsisten dan semakin tidak jelas arah atau disorientasi.

Hendri mencontohkan ketidakkonsistenandan disorientasinya kebijakan pemerintah. Pertama, ditengah fundamental ekonomi Indonesia yang rapuh, pemerintah cenderung mengabaikan dan hanya fokus mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi yang tinggi. Selain itu, defisit perdagangan barang telah terjadi sejak 2012 menyusul defisit neraca jasa dan neraca pendapatan yang sudah terjadi sejak lama. Kelalaian pemerintah dalam membangun struktur industri yang kokoh telah berakhir pada terjadinya berbagai defisit.

“Namun, tanpa didukung fundamental ekonomi yang kuat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi berpotensi menciptakan fenomena overheatingyang ditandai dengan tingginya inflasi dan defisit neraca perdagangan,” ungkapnya.

Menurut Hendri, selain tidak inklusif juga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku dan bahan penolong impor. Seharusnya, struktur ekonomi yang demikian menjadi concern pemerintah untuk segera melakukan koreksi. Tetapi faktanya, hingga pertengahan 2013 kondisi ini semakin parah yang berdampak pada defisit perdagangan yang makin melebar.

Kedua, pemerintah selalu menganggap kerentanan ekonomi yang terjadi lebih diakibatkan oleh fenomena global seperti isu tapering off, sehingga pemulihannya sangat bergantung pada pemulihan global. Sikap ini akhirnya membuat pemerintah acuh tak acuh terhadap masalah utama dalam struktur ekonomi nasional dan tidak segera mengambil kebijakan yang memadai untuk mengantisipasinya.

“Benar bahwa isu penghentian stimulus oleh Amerika Serikat (AS) akan berpengaruh secara global. Namun, dampak yang terjadi tentu akan berbeda tergantung dari struktur ekonomi masing-masing negara,” jelas Hendri.

Jika dilihat dari porsi ekspor netto Indonesia, menunjukkan angka ekspor yang sangat rendah. Kondisi tersebut secara langsung juga membuktikan bahwa daya saing Indonesia relative rendah dibanding negara-negara lain. Persoalan pelemahan rupiah, pun, terjadi bukan sekedar masalah eksternal, tetapi merupakan masalah rumah tangga ekonomi Indonesia jauh lebih menentukan.
Ketiga, defisit dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dalam dua tahun terakhir, keseimbangan primer APBN yakni pendapatan dikurangi belanja di luar pembayaran utang telah negatif. Namun Presiden SBY dalam pidato Kenegaraan ada Agustus lalu masih menegaskan pemerintah akan tetap mendorong pertumbuhan tanpa memperdulikan sumber pertumbuhannya, yaitu dengan menerapkan keep buying strategy dalam tahun fiskal 2014. Dalam pket Agustus, salah satu strateginya adalah menjaga defisit APBN 2013 tetap sebesar 2,38 persen.

“Padahal mendorong belanja dan memperlebar defisit APBN akan semakin menekan keuangan negara,” ujarnya.

Dengan posisi penerimaan pajak yang semakin berat untuk menopang belanja, lanjut Hendri, pemerintah seharusnya melakukan penghematan dan mengefisienkan belanja serta menekan defisit APBN serendah mungkin. Tetapi, pemerintah seolah mengingkari fakta bahwa shortfall masih dan terus terjadi sehingga mengganggu fiskal.

Akibat ketidakjujuran pemerintah dalam melihat masalah, maka langkah kebijakan ekonomi selama 2013 tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Bahkan, arah kebijakan ekonomi semakin tidak jelas dalam menjaga kepentingan nasional.

Sementara itu Menteri Keuangan Chatib Basri mengklaim bahwa kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah sebagai paket stimulus ekonomi berjalan dan memberikan dampak kepada perekonomian Indonesia. Buktinya, impor sudah menunjukkan angka surplus meskipun hanya sebesar Rp40 juta.

“Impor sudah surplus itu buktinya mengalami penurunan dan bukti kalau policy yang sudah dikeluarkan berjalan. Tetapi, surplus sebesar Rp40 juta masih kecil, sehingga kita mengeluarkan paket tahap dua untuk memperbesar angka surplus tersebut,” pungkasnya.
Tags: