Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem
Utama

Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem

Bahkan Singapura mereformasi konsep pembuktian ketidakmampuan pembayaran hutangnya menjadi konsep persangkaan seperti yang selama ini diterapkan di Indonesia. Jadi tak perlu ikut-ikutan Negara common law lain yang sistem pembuktiannya pun tak cocok dengan Indonesia.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Bahkan Singapura yang baru saja melakukan reformasi memperbaiki UU Kepailitan mereka pada 23 Mei 2017 lalu, kata Ricardo, dalam judicial arrangement mereka tak lagi menyebut debitur yang tidak mampu membayar hutang, melainkan debitur yang dianggap tak mampu membayar hutang.

 

“Artinya Singapura saja mengadopsi konsep persangkaan yang selama ini kita terapkan di pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, lantas mengapa kita harus ikut-ikutan negara common law lain dengan insolvency test yang sistem pembuktiannya pun tak cocok dengan negara kita?” tukas Ricardo.

 

Ketua Dewan Sertifikasi HKPI, Achsin menyebut bahwa dalam sistem Anglo Saxon (common law), memang penerapan dismissal process dalam pailit hanya berlaku bagi perusahaan yang betul-betul tidak mampu membayar hutang, sehingga dalam prosesnya tak heran jika harus bolak-balik Pengadilan. Sebaliknya, Indonesia dengan Civil law system justru tidak hanya menerapkan ‘ketidakmampuan’ debitur melainkan juga ‘ketidakmauan’ debitur untuk membayar hutang hingga jatuh tempo, sehingga memang proses pembuktiannya sederhana.

 

Layaknya Ricardo, Achsin mengakui ada permasalahan soal transparansi laporan keuangan yang dikuasai debitur. Bahkan jika diambil contoh piutang yang pemberkasannya dari internal perusahaan maka tak heran seringkali ditemukan piutang yang fiktif yang digunakan perusahaan untuk memperlihatkan seolah performa perusahaan berjalan baik, padahal belum tentu.

 

“Jadi akses atas laporan keuangan yang dimiliki perusahaan untuk mengetahui mana yang piutang bergerak mana yang piutang fiktif akan membuat kreditur kesulitan untuk membuktikan,” kata Achsin.

 

Dari contoh tersebut, terbukti bahwa memang yang lebih mengetahui kondisi perusahaan adalah debitur, sehingga penerapan test insolvency memang sudah sepatutnya dilakukan saat masa PKPU atau saat debitur mengajukan Business Plan. Disini kreditur, kata Achsin, bisa mempertanyakan apakah business plan yang diajukan debitur dapat dipercaya? Apakah debitur betul-betul masih bisa solven jika diberi kesempatan untuk restrukturisasi?

 

Indikasi ketidakmampuan seorang debitur membayar hutang tersebut, kata Achsin, dapat terlacak dari besaran aktiva lancar perusahaan dibandingkan dengan besaran hutang lancer. Jika aktiva lancar lebih besar maka kemampuan membayar hutang lancarnya bagus. Sebaliknya, jika utang lebih besar daripada aktiva lancar maka perusahaan yang bersangkutan mulai tidak bisa membayar hutang yang akan segera jatuh tempo.

 

Apalagi jika ditambah dengan jumlah utang jangka panjang dan asetnya tidak cukup untuk membayar utang, maka perusahaan yang bersangkutan bisa segera dimintakan PKPU atau dipailitkan.

 

“Persoalannya lagi-lagi, di Indonesia kan untuk dapat laporan keuangan yang mau PKPU ini kan bukan main sulitnya,” tukas Achsin.

 

Tags:

Berita Terkait