Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem
Utama

Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem

Bahkan Singapura mereformasi konsep pembuktian ketidakmampuan pembayaran hutangnya menjadi konsep persangkaan seperti yang selama ini diterapkan di Indonesia. Jadi tak perlu ikut-ikutan Negara common law lain yang sistem pembuktiannya pun tak cocok dengan Indonesia.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Atas konsekuensi itu, Ricardo mempertanyakan jika hakim aktif menentukan status kepailitan debitur, maka apa yang menjadi dasar bagi hakim nantinya dalam menentukan seorang debitur pantas direstrukturisasi atau tidak? Padahal seluruh pembuktian pailit urusannya berasal dari laporan keuangan yang mana pihak kreditur-pun belum tentu mampu mengakses laporan keuangan debitur.

 

“Jangankan hakim, dari 100 pelaku usaha berbisnis, paling berapa orang dari 100 pelaku usaha itu yang memegang laporan keuangan mitranya? Bahkan bank yang memegang laporan keuangan debitur pun, namun saat debitur default maka ia tak lagi mau memberikan laporan keuangan terbaru,” ungkap Ricardo.

 

(Baca Juga: Basuki Rekso Wibowo: Penyusunan Hukum Acara Perdata Nasional Sudah Mendesak)

 

Saat Indonesia menganut insolvency test, kata Ricardo, seseorang hanya dapat dipailitkan ketika ia telah terbukti insolven, sehingga tidak cukup hanya dengan fakta bahwa orang tidak membayar kewajibannya atau tidak cukup dengan mengatakan bahwa ia wanprestasi. Konsep ini dalam praktiknya hampir tidak memungkinkan dilaksanakan dalam mekanisme perdata di Indonesia, mengingat insolven itu semua tentang pembukuan yang dalam pasal 47 KUHD seseorang baru dapat insolven ketika telah mengalami kerugian secara berturut-turut hingga menggerus modalnya lebih dari 50%.

 

Kendalanya, sambung Ricardo, bagaimana kita bisa membuktikan orang telah merugi hingga 50% sementara hukum acara perdata Indonesia (pasal 1865 HIR) menganut prinsip ‘siapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan’. Padahal kreditur pun belum tentu tahu soal laporan keuangan debitur, lantas bagaimana bisa hakim memastikan bahwa debitur walaupun tidak membayar hutang masih pantas untuk dikatakan pailit?

 

Jadi sudah tepatlah, kata Ricardo, persangkaan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dijadikan sebagai basis untuk menyatakan pailit, sehingga tak boleh lagi ada ‘rem’ di sana karena jika tidak akan menimbulkan ketidakpastian. Itu juga alasan mengapa pembuat UU dulu menimbulkan kata “wajib” untuk menghindari munculnya ketidakpastian. Soalnya, jelas Ricardo, bagaimana majelis tahu debitur tidak pantas insolven sementara ia tak membayar hutangnya? Dengan begitu orang tidak akan memungkinkan untuk pailit jika basis dari kepailitan itu adalah insolvency test, balance sheet test bukan persangkaan.

 

“Padahal ya kalau mau bertahan ya bayar dong hutangnya. Kalau tak bayar hutang ya anda pailit, tak ditanya lagi kenapa dia tak bisa bayar, segampang itu. Itulah mengapa saya katakan justru dengan mengubah frasa wajib nya menjadi dapat malah berpotensi menimbulkan ketidakpastian. Orang dikatakan wajib saja bisa colorfull putusannya apalagi dibilang dapat,” tukas Ricardo.

 

Lain dengan Ricardo, Ketua AKPI, James Purba justru setuju dengan perubahan wewenang hakim wajib mengabulkan menjadi dapat mengabulkan permohonan pailit pada pasal 8 ayat (4) UU UU 37/2004. Karena pada akhirnya, kata James, semua tetap akan bergantung pada penilaian hakim. Pembuktian itu adalah judex facti nya hakim untuk menentukan ini perkara sederhana atau tidak. Apalagi saat ini, kata James, dengan dilekatkannya kata ‘harus’ mengabulkan-pun tetap juga banyak yang menolak permohonan hanya karena pendapat hakim tak bisa dikatakan sederhana.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait