Kemiripan Fungsi KY dengan Dewan Kehakiman Tinggi Belgia
Utama

Kemiripan Fungsi KY dengan Dewan Kehakiman Tinggi Belgia

Salah satunya, KY dan Dewan Kehakiman Tinggi Belgia berperan penting mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber webinar internasional bertema 'The Judicial Commission and the Independence of Judiciary: Lessons Learned from Indonesia and Belgium', Selasa (12/10/2021). Foto: ADI
Sejumlah narasumber webinar internasional bertema 'The Judicial Commission and the Independence of Judiciary: Lessons Learned from Indonesia and Belgium', Selasa (12/10/2021). Foto: ADI

Konstitusi memandatkan Komisi Yudisial (KY) bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan punya wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Komisioner KY, Binziad Khadafi, mengatakan lembaga seperti KY juga dimiliki negara lain, seperti Belgia melalui Dewan Kehakiman Tinggi Belgia (Belgian High Council of Justice).

Binziad melihat ada beberapa kemiripan antara KY dengan Belgian High Council of Justice (BHCJ). Misalnya kedua lembaga itu merupakan anak kandung gerakan reformasi. Sama seperti di Indonesia, di Belgia sekitar tahun 1996 ada demonstrasi masyarakat yang menuntut perbaikan peradilan, sehingga publik kembali percaya terhadap lembaga peradilan.

“Latar belakang dibentuknya (KY dan BHCJ, red) sama, karena ada gerakan publik (untuk reformasi, red),” kata Binziad Kadafi dalam webinar internasional bertema “The Judicial Commission and the Independence of Judiciary: Lessons Learned from Indonesia and Belgium”, Selasa (12/10/2021).  

Dia melanjutkan kedua lembaga yang memiliki karakter serupa yang mengemban ekspektasi publik yang tinggi untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Keduanya lahir di tengah sistem ketatanegaraan yang konvensional terutama dalam memandang konsep pemisahan kekuasaan. Tapi, masih ada perdebatan apakah posisi KY sebagai organ utama atau pendukung dalam sistem ketatanegaraan konvensional.

Sejumlah pengamat hukum juga memandang KY memiliki kewenangan yang kurang diatur jelas dan tegas dalam konstitusi. Misalnya Pasal 24B UUD NRI 1945 memuat ketentuan yang bersifat normatif dan luas, sehingga berdampak pada kewenangan KY sebagaimana tertuang dalam UU.

Menurut Binziad, tantangan utama yang dihadapi KY dan BHCJ dinamika lembaga peradilan mengingat ada batas kewenangan yang berpotensi tumpang tindih. Tapi jika dikelola dengan baik akan terbentuk kolaborasi apik antara KY dengan lembaga peradilan, seperti MA. Perdebatan yang kerap muncul, misalnya perdebatan soal batas pengawasan terhadap teknis yudisial atau legal error dibandingkan dengan pelanggaran terhadap perilaku atau judicial misconduct.

Kemudian tantangan lainnya berkaitan dengan peran KY apakah murni melakukan pengawasan dan seleksi hakim dibandingkan dengan peran terkait SDM peradilan. Menurut Binziad, KY punya beberapa kewenangan yang bersentuhan dengan manajemen SDM di lembaga peradilan. Misalnya, rekomendasi KY ujungnya pendisiplinan yang merupakan bagian dari pengelolaan SDM terhadap pengembangan karir hakim.

Binziad menegaskan KY dan BHCJ merupakan lembaga penegak dan pencegah pelanggaran etik. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KY berlandaskan pada standar penegakan etik. Seperti kasus suap antara hakim dan pihak berperkara, KY hanya perlu membuktikan apakah ada pertemuan antara hakim dan pihak berperkara.

“KY bisa melakukan tindakan tegas atas pelanggaran kode etik itu. Tapi ada juga pandangan yang menilai KY dianggap kurang powerful.”

Menurutnya, ciri-ciri utama KY dan BHCJ berwenang menyelenggarakan seleksi hakim. Untuk KY, semua kewenangan dilaksanakan beriringan dengan MA. Karena itu, keduanya perlu meningkatkan kolaborasi dan menjaga independensi.

Wakil Dekan Tilburg Law School, Prof Maurice Adams, mengatakan lembaga seperti KY secara umum melindungi independensi peradilan. KY yang didirikan di setiap negara memiliki landasan pendirian masing-masing sesuai konteks sosial, ekonomi dan politik yang berkembang di negara tersebut.

Untuk melihat peran KY di setiap negara, kata dia, harus dilihat ketentuannya dalam konstitusi dan apa tujuan didirikannya KY. “Mereka (KY) merupakan hasil dari suatu krisis atau persoalan dalam suatu negara. Maka perlu dilihat ketentuan yang mengaturnya dalam konstitusi, harus dipahami dari sisi persoalannya dan alasan kenapa KY itu didirikan,” kata dia dalam kesempatan yang sama.

Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Dian Rositawati, mengatakan sejak KY berdiri tahun 2005 relasinya dengan MA selalu diwarnai konflik. Bahkan, persepsi publik lebih banyak mengingat tentang ketegangan dan konflik ketimbang kolaborasi antara KY dan MA.

“Biasanya terkait objek pengawasan perilaku hakim, ini kewenangan KY. Tapi bukan hanya konteks pengawasan saja, tapi pelaksanaan kewenangan lain,” kata Dian Rositawati.

Dia menilai konstitusi memandatkan KY bersifat mandiri dan terpisah dari lembaga peradilan. Menurut Dian, tujuan didirikannya KY karena situasi ketika itu dibentuk muncul ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan ada dorongan untuk membuat lembaga negara termasuk peradilan agar bersih dari KKN.

“KY diharapkan menjadi penyeimbang MA, agar MA tidak melakukan pelanggaran dalam menjalankan kewenangannya.”

Tags:

Berita Terkait