Ketua PN Jakut, Lilik Mulyadi: ‘Yang Mulia’ Produktif Menulis Buku
Berita

Ketua PN Jakut, Lilik Mulyadi: ‘Yang Mulia’ Produktif Menulis Buku

29 tahun karier hakim, menghasilkan 29 buku.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Ketua PN Jakarta Utara, Lilik Mulyadi. Foto: RES
Ketua PN Jakarta Utara, Lilik Mulyadi. Foto: RES
Kita semua mahfum bahwa karya utama seorang hakim adalah putusan. Namun, hakim ‘tidak haram’ untuk menghasilkan karya yang lain, apalagi karya itu positif. Hal itulah yang dibuktikan oleh Lilik Mulyadi.

Lilik yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) termasuk hakim yang rajin membuat buku. Bayangkan, selama kurang lebih 29 tahun perjalanan karier hakimnya, Lilik mampu menghasilkan 29 buku. Artinya, rata-rata setiap tahun, Lilik menelurkan satu buku.

“Saya tuh nulis buku, saya pikir begini, kalau saya nulis buku ini artinya untuk amanah. Dengan menulis buku itu, pikir saya, biar orang melihat bahwa inilah gambaran dari dunia teori sama praktik di dunia peradilan. Supaya orang tak capek-capek datang ke pengadilan ngabisin waktu, ngabisin macem-macem,” tutur Lilik kepada hukumonline.

Ditemui di ruang kerjanya, beberapa waktu lalu, Lilik bercerita, awal ia menulis buku adalah ketika ia bertugas di PN Kandangan, Kalimantan Selatan. Saat itu, ia menulis harus dengan tulisan tangan terlebih dulu agar bila ada kesalahan masih bisa dikoreksi. “Waktu itu kan masih mesin ketik ya,” imbuhnya.

Lilik mengaku ‘diuntungkan’ karena jumlah perkara di PN Kandangan relatif sedikit, sehingga dirinya memiliki waktu yang cukup banyak untuk menulis buku. Namun, aktivitasnya menulis buku sempat dipertanyakan oleh Ketua PN Kandangan.

“Karena saya nulis buku aja kerjanya, ketua saya bilang ‘wah ini nih orangnya keras kepala. Kerja nulis buku aja. Apa mau dicari ini?” Lilik menirukan perkataan Ketua PN Kandangan.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Lilik mengaku sempat jengkel. “Masa’ tidak bisa hakim menulis buku untuk mencerahkan orang lain,” pikir Lilik. Memilih tak pedulikan omongan ketuanya, Lilik tetap melanjutkan kegiatannya. Setelah buku terbit, barulah Ketua PN Kandangan mengacungi jempol dan menyatakan salut.

Reaksi yang kurang lebih sama juga datang dari kolega sesama hakim ketika Lilik memutuskan untuk mengambil program doktor di Universitas Padjadjaran, Bandung. Mereka mempertanyakan untuk apa Lilik mengejar gelar doktor, padahal hakim tinggi atau bahkan hakim agung saja hanya bergelar S-1.

Kala itu, pertanyaan para kolega dijawab Lilik dengan tenang. Ayah dua anak ini mengatakan dirinya berpikir jauh ke depan bahwa zaman sudah berubah. Sekarang, ucap Lilik, calon hakim sudah banyak yang duduk di bangku kuliah S3.

Ia menekankan kepada rekannya, “kalau besok-besok misalnya anda jadi Ketua Pengadilan dan cuma S-1, sedangkan hakim-hakimnya yang junior S-3 atau S-2, maklum saja kalau pas pas rapat ada bisik-bisik ‘ah jangan dipercaya omongan Pak Ketua. Pak Ketua itu cuma S1 dia’.”

Untuk diketahui, Lilik meraih gelar sarjana hukum dan S-2 dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali. Lalu, gelar Doktor dia raih dari Universitas Padjajaran, Bandung. Selain hukum, Lilik setelah berstatus hakim sempat kuliah ilmu sosial politik pada salah satu perguruan tinggi swasta di Bali. Namun, studinya hanya bertahan dua tahun, karena Lilik dimutasi ke Pengadilan Negeri Serui, Papua.

Sekarang pun ia mengaku masih sangat ingin mengambil kuliah lagi. “Pengen saya kuliah lagi ilmu psikologi di Universitas Terbuka. Tapi Universitas Terbuka tidak ada jurusan psikologi,” ujarnya.

Selain menulis, Lilik juga gemar membaca beragam literatur. Menurut dia, seorang hakim, terlebih ketua pengadilan di kota besar seperti Jakarta, dituntut untuk terus belajar dan membaca. Kegemaran membaca ini coba ditularkan ke anaknya yang juga berencana menjadi hakim.

“Dari muda kita itu sudah harus rajin-rajin baca biar kalau ada orang tanya kita tahu. Kalau kita tidak tahu, kasih solusinya kan susah juga. Paling nggak kalau kita pernah baca, kita bisa kasih jawaban dari pandangan-pandangan kita,” tegas Lilik yang mengaku pernah mendapat penghargaan sebagai “Alumni Terproduktif Universitas Udayana”.

Sapaan profesor
Saat ini, banyak orang memanggil Lilik dengan sapaan Profesor, meskipun gelar prestise itu belum resmi dia sandang. Permohonan Guru Besar Tidak Tetap telah diusulkan untuk dirinya oleh Universitas Prima Indonesia, Medan, sejak Juni 2013. Namun, hingga kini permohonan tersebut masih belum mendapat pengesahan. Padahal, nilai kredit (kum) Lilik telah melebihi batas minimum syarat menjadi guru besar

“Sudah ada dari Medan yang mengusulkan. Tapi sekarang itu, malah saya kok bingung ya. Usulan untuk Guru Besar Tidak Tetap justru lebih sulit daripada Guru Besar yang tetap. Nah ini kan kalau Guru Besar Tetap itu kan cuma 850 jumlah kum nya, saya itu waktu itu diusulkan malah sudah 1200 (kum, red). Tapi karena ada peraturan baru syaratnya jadi begitu ketat,” tutur Lilik.

Terpikir di benak Lilik selesai masa pengabdiannya sebagai hakim, ia ingin meneruskan cita-citanya masa mudanya, yaitu menjadi pengajar saja. Untuk mengurus pengusulan guru besar pun lebih mudah, pikirnya.  Namun begitu, saat ini Lilik menjalani hidupnya apa adanya saja.

“Biar lah hidup itu seperti air yang mengalir dari atas pegunungan menuruni ngarai, lembah, lalu akhirnya di ujung muara,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait