Hal itu tercantum dalam Pasal 49 ayat (5). Artinya, selain sebagai regulator dan pengawas, OJK bertugas sebagai instansi tunggal yang melakukan penyidikan.
"Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan penyidik Otoritas Jasa Keuangan," demikian bunyi Pasal 49 ayat (5).
Sementara, pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih menilai kewenangan penuh yang dimiliki OJK sebagai satu-satunya lembaga dalam mengusut tindak pidana di sektor jasa keuangan berbahaya. Pasalnya, lembaga itu dinilai belum berpengalaman dalam mengusut sendiri tindak pidana sektor keuangan.
Yenti meragukan para penyidik yang dimiliki OJK nantinya bisa benar-benar menangani beragam kejahatan di industri keuangan, seperti investasi, perbankan hingga pasar modal.
Ia mengingatkan saat ini Polri (Bareskrim) sudah memiliki unit khusus untuk mengusut kejahatan di sektor keuangan yakni Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus). Seharusnya, pemerintah memaksimalkan unit khusus tersebut.
"Mereka (penyidik Dittipideksus) andal, apakah mereka tak bisa lagi menangani? Menurut saya gegabah hanya OJK yang bisa menangani kasus pidana di sektor keuangan sedangkan kejahatan keuangan sangat kompleks," ujarnya.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) itu menjelaskan semua kejahatan di industri keuangan berakhir pada pencucian uang. Yenti ragu OJK bisa menangani hingga ke TPPU. Selain itu, pengusutan TPPU butuh kehati-hatian dan kecermatan dari para penyidik yang berpengalaman.
Di sisi lain, pemberian kewenangan penuh kepada OJK menjadi satu-satunya lembaga yang bisa mengusut tindak pidana di sektor keuangan dinilainya pemborosan anggaran negara karena akan ada pengangkatan penyidik baru. Sementara, saat ini sudah banyak penyidik andal yang dimiliki polisi.
"Jangan mubazir dalam hal anggaran, kita sudah membelajarkan para penyidik, nanti mereka nganggur," ucap dia.