Kini, Penghentian Penyidikan Pidana Pajak Cukup Lampirkan Surat Setoran Pajak
Berita

Kini, Penghentian Penyidikan Pidana Pajak Cukup Lampirkan Surat Setoran Pajak

Implementasi harus dilakukan dengan pengawasan ketat.

KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HLM
Ilustrasi: HLM
Bulan April lalu, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.55/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Untuk Kepentingan Penerimaan Negara. Aturan ini sekaligus menganulir peraturan sebelumnya yang mengatur hal yang sama, yakni PMK No.129/PMK.03/2012.

Perbedaan mendasar di antara kedua peraturan menteri tersebut adalah ketentuan mengenai sistem pembayaran. Sebagaimana diketahui, salah satu pertimbangan dalam penghentian penyidikan pidana pajak adalah adanya kesanggupan wajib pajak untuk melunasi pajak tersebut dan ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44B UU KUP.

Di dalam PMK No. 129/PMK.03/2012, pembayaran  pelunasan dan denda itu dilakukan dengan jaminan dalam bentuk escrow account atau rekening penampungan pemerintah. Artinya, sejak awal wajib pajak tidak mengetahui secara pasti berapa kerugian negara yang harus dibayarkan maupun dendanya.

Mereka harus menunggu persetujuan dari pemerintah, sambil mengendapkan uangnya di dalam escrow account sebagai bukti itikad baik. Setelah ditetapkan perhitungan pasti yang harus dibayarkan, barulah sejumlah uang di escrow account itu ditransfer ke rekening yang ditentukan.

“Jadi, dulu tidak ada kepastian hukum. Wajib pajak hanya tahu berapa jumlah yang dibayarkan itu tidak secara resmi dari pemerintah. Ini menimbulkan moral hazard juga, bila uang yang diendapkan di dalam escrow account ternyata lebih besar dibanding yang semestinya dibayarkan,” ungkap Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).

Sementara itu, di dalam PMK No.55/PMK.03/2016, tidak ada lagi ketentuan pembayaran melalui escrow account. Di dalam Pasal 4, justru disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk harus memberikan informasi tertulis mengenai besarnya jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan sanksi administrasi. Namun, informasi itu baru diberikan atas permintaan wajib pajak.

Sebagai ganti escrow account, wajib pajak cukup melampirkan surat setoran pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat tersebut. Gunanya, sebagai bukti pelunasan jumlah pajak dan sanksi administrasi yang harus dibayarkan.

Menurut Yustinus, mekanisme tersebut lebih memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Sebab, sejak awal wajib pajak sudah mengetahui secara pasti berapa yang harus dibayarkan. Cara pembayaran yang hanya dengan SSP pun, menurutnya lebih mudah dibandingkan dengan escrow account.

“Pembayaran dengan SSP itu pun bisa langsung menjadi penyelesaian. Artinya, ketika penghentian penyidikan telah disetujui oleh Jaksa Agung maka langsung selesai saat itu juga,” tutur Yustinus.

Bukan Tax Amnesty
Di sisi lain, Yustinus mengingatkan bahwa keluarnya PMK ini tidak berkaitan dengan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Ia mengatakan, hanya saja waktu dikeluarkannya aturan ini memang bersamaan dengan momentum pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Namun menurut Yustinus, Permenkeu ini mengatur hanya perkara pidana pajak biasa.

Selain itu, ketentuan pengampunan pajak pun mengatur bahwa pidana pajak yang berkasnya sudah P-21 tidak bisa dimohonkan pengampunan. Oleh karena itu, Yustinus mengingatkan bahwa pelaksanaan Permenkeu terbaru itu harus ketat. Sebab, bisa jadi para wajib pajak yang disidik berupaya memperlama penyelesaian perkara agar bisa mengajukan permohonan pengampunan.

“Kalau sudah disidik kemudian menyelesaikan secara administratif, hitungannya malah rugi. Apalagi dendanya 400%. Kalau peraturan yang lama, wajib pajak bisa buying time. Jangan sampai terjadi dengan aturan yang baru ini,” ujarnya.

Ia menilai, pengampunan pajak lebih menguntungkan dibandingkan dengan menghentikan penyidikan melalui penyelesaian administrasi. Oleh karena itu, Yustinus menegaskan, pemberkasan penyidikan harus diselesaikan dengan segera. Sehingga, wajib pajak lebih banyak terdorong melakukan penyelesaian dengan skema administrasi ini ketimbang melalui pengampunan.

“Kalau nanti aturan pengampunan pajak dan peraturan ini berlaku pararel, lebih menguntungkan bagi wajib pajak untuk mengikuti skema penampunan. Tetapi, kalau pelaksanaan Permenkeu ketat, tentu ini lebih menguntungkan bagi negara,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait