Kisah Fiksi Kegalauan Pengacara Ibukota
Resensi

Kisah Fiksi Kegalauan Pengacara Ibukota

“Hitam Putih” harus diakui berhasil memenuhi kualifikasi label “Worklit”.

HOT (HOLE)
Bacaan 2 Menit
Novel Hitam Putih terbitan Lentera Hati. Foto: Rzk
Novel Hitam Putih terbitan Lentera Hati. Foto: Rzk

Tidak banyak karya novel fiksi hukum di negeri ini. Di rak-rak toko buku lebih banyak berjejer novel-novel dengan tema percintaan, fiksi ilmiah, atau yang paling marak sekarang ini, novel remaja (baca: ABG). Kini, di tengah-tengah kelangkaan dan kepungan novel-novel pop itu, muncul sebuah novel fiksi hukum berjudul “Hitam Putih” karya Budi Satrio.

Walaupun namanya masih terdengar ‘asing’, Budi Satrio sebenarnya bukan ‘pemain baru’ di kancah pernovelan nasional. Sebelumnya, jebolan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang kini bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia ini, pernah menelurkan novel “Bidadari Tak Bersayap” di tahun 2009. Namun untuk genre fiksi hukum, ini adalah karya pertama Budi.

Layaknya formula sebuah fiksi hukum, novel “Hitam Putih” menyorot kehidupan advokat sebagai tema sentralnya. Dalam karyanya ini, Budi membangun karakter bernama Dewa, seorang pengacara muda yang telah sampai pada puncak kariernya. Dewa adalah partner di kantor hukum B&P, yang diceritakan terletak di bilangan Kuningan, Jakarta.

Dewa digambarkan tipikal pengacara-pengacara sukses di umur yang relatif muda. Status single, penghasilan yang tanpa batas, apartemen elit, dan mobil mewah, memang menjadi hal yang lumrah dinikmati advokat-advokat di kantor hukum ternama.

Tak hanya itu, Dewa juga beruntung mendapatkan pasangan yang bisa dikatakan minim kekurangan. Raras, nama pasangan Dewa, adalah sosok wanita muda dengan karier yang cukup sukses di perusahaan multinasional. Sekilas, Dewa dan Raras adalah pasangan sempurna yang tidak memiliki kekurangan, baik dari segi materiil maupun immateriil.

Namun, Dewa sendiri merasa masih ada yang kurang dalam hidupnya. Harta yang lebih dari cukup, pasangan yang nyaris sempurna, ternyata tidak bisa menutupi kepingan puzzle yang hilang dalam hidupnya. Upaya Dewa untuk mencari kepingan ini, nampaknya menjadi plot utama dalam “Hitam Putih”, yang dijahit dengan berbagai aktivitas rutin seorang pengacara.

Dewa harus menghadapi berbagai masalah seperti bawahan yang tidak mengikuti instruksinya, persaingan antar partner, hingga kasus class action (gugatan perwakilan) dan mogok buruh. Dalam beberapa kesempatan, Dewa juga harus menghadapi kelesuan hubungannya dengan Raras, sang kekasih.

Membangun sebuah plot cerita apik dengan menggunakan banyak angle memang bukan pekerjaan yang mudah. Hal inilah yang terlihat diupayakan Penulis dalam mengonstruksikan Dewa sebagai pengacara muda yang telah memiliki segalanya, namun merasa ada yang kurang dengan hidupnya.

Penulis terlihat kesulitan untuk mengambil angle apa yang sebenarnya membuat Dewa tiba-tiba menjadi ‘galau’. Bahkan, sayangnya, Penulis tidak mengelaborasi lebih jauh kegalauan bentuk apa yang sedang dihadapi Dewa.

Apakah ia muak dengan kemunafikan aparat hukum? Apakah dia lelah dengan pressure dari berbagai kasus yang dihadapi sebagai pengacara? Atau mungkinkah dia menjadi ‘galau’ hanya karena keraguannya terhadap Raras?

Absennya angle cerita yang jelas dalam “Hitam Putih”, membuat plot cerita yang dibangun terkesan tidak terarah. Kalaupun Penulis ingin membuat pembaca menerka-nerka dengan ujung cerita Dewa dan kemudian terkejut dengan ending-nya, upaya ini sepertinya juga tidak berhasil karena pemaparannya melebar kemana-mana dan tidak memberikan deskripsi yang detail.

Tak hanya itu, seringkali cerita karakter Dewa juga disisipi oleh informasi-informasi yang sebenarnya tidak memberikan nilai tambah alias mubazir. Dengan kata lain, ada beberapa paragraf dan halaman, yang kalau dilewatkan begitu saja tidak akan mengurangi nilai dan jalannya cerita Dewa.

Seandainya Penulis memilih satu angle cerita saja, bisa jadi karakter Dewa dalam “Hitam Putih” dapat terjahit dengan lebih baik. Masa pengerjaan yang ‘hanya’ dua bulan, mungkin menjadi salah satu penyebab kenapa Penulis sepertinya kesulitan mengelaborasi satu angle yang fokus.

‘Beruntung’ ketidakjelasan angle “Hitam Putih” tertolong dengan label “Worklit” yang dipajang kecil tetapi mencolok di halaman muka buku. “Worklit” seperti makna dari “Teenlit” adalah novel yang fokus ceritanya seputar dunia profesi. Dan “Hitam Putih” harus diakui berhasil memenuhi kualifikasi label “Worklit”.   

Lebih dari itu, upaya Penulis untuk menghidupkan (kembali) genre fiksi hukum di Indonesia tetap layak diacungi jempol. “Hitam Putih” memberikan sebuah bacaan bermutu, yang tidak selalu berputar-putar di masalah percintaan, komedi, ataupun mistis.

Sebagai contoh, narasi yang dibangun Penulis ketika Dewa menganalisis gugatan perwakilan terhadap seorang kepala daerah, bisa memberikan pengetahuan tambahan bagi mereka yang mungkin tidak familiar dengan upaya hukum selain gugatan.

Sekali lagi, keberanian Budi Satrio menelurkan satu karya novel fiksi hukum layak diganjar apresiasi dan penghormatan. Mungkin, langkah Budi dapat memancing karya-karya lain serupa dari kalangan hukum maupun non-hukum. Semoga.

Tags:

Berita Terkait