Kisah Pedagang Emas Melawan ‘Keangkuhan’
Berita

Kisah Pedagang Emas Melawan ‘Keangkuhan’

Perjuangan Suhaemi Zakir menuntut hak patut diacungi jempol. Segala cara legal dilakukan pedagang emas di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Panitera Muda, Triyono Edy Budhiarto menyerahkan berita salinan putusan kepada Rinaldi selaku kuasa hukum Pemohon uji materi UU Perbankan, Kamis (18/6). Foto: Humas MK
Panitera Muda, Triyono Edy Budhiarto menyerahkan berita salinan putusan kepada Rinaldi selaku kuasa hukum Pemohon uji materi UU Perbankan, Kamis (18/6). Foto: Humas MK
Begitu Arief Hidayat mengetukkan palu sidang seharusnya perjuangan Suhaemi sudah mendekati babak akhir. Ketua Mahkamah Konstitusi itu membacakan amar putusan yang menggembirakan bagi Suhaemi. Permohonan judicial review-nya terhadap UU Perbankan dikabulkan Mahkamah.

Rinaldi, pengacara Suhaemi, langsung menyiapkan langkah lanjutan. “Kami akan mendesak OJK untuk menindak Bank DKI yang mengabaikan penetapan eksekusi PN Jakarta Pusat,” tegasnya, usai sidang di Mahkamah Konstitusi.

Rinaldi memang sudah punya amunisi kuat. Mahkamah Konstitusi menghapus frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan. “Frasa ‘bagi bank’ dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 109/PUU-XII/2014 di MK, Kamis (18/6) kemarin.

Lewat pengacaranya, Suhaemi, memang mempersoalkan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sebab, laporan-laporannya selama ini ke otoritas berwenang selalu mentok. Bahkan amunisi penetapan eksekusi dari pengadilan pun seakan tak mempan melawan ‘keangkuhan’ lembaga lain.Bank menolak eksekusi dengan dalih hanya tunduk pada peraturan di bidang perbankan, dan prosedur eksekusi tak memenuhi syarat.

Upayanya berhasil. Mahkamah menyatakan bank harus taat pada setiap putusan pengadilan. Sebab, ketentuan yang menyatakan pengurus bank hanya tunduk pada peraturan tertentu yang berlaku hanya pada sektor perbankan merupakan bentuk pelanggaran terhadap putusan pengadilan atau bentuk pelanggaran hukum.

“Selanjutnya Mahkamah berpendapat suatu putusan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan dan merupakan pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara Republik Indonesia yang merupakan negara hukum sesuai dengan UUD 1945 dan pihak lain yang terkait langsung maupun tidak langsung harus menghormati putusan pengadilan, serta pengabaian pengurus bank terhadap putusan pengadilan karena berlindung di bawah ketentuan frasa ‘bagi bank’. Menurut Mahkamah bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto yang membacakan pertimbangannya.

Terlebih, kata hakim konstitusi Aswanto,Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan menegaskan bank harus tunduk pada kepentingan peradilan. Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44AUU Perbankan.

Misalnya, Pasal 42 menyebut untuk kepentingan peradilan, pimpinan Bank Indonesia dapat memberi izin kepada polisi, jaksa untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.

Rinaldi mengatakan, dengan putusan MK tersebut, Bank DKI harus melaksanakan perintah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat  untuk melakukan pembayaran ganti rugi hilangnya emas milik Pemohon melalui rekening milik Pasar Jaya, penanggung jawab pengelolaan Pasar Mayestik, di Bank DKI. Dengan begitu, Bank DKIatau bank lainnya, tidak dapat lagi beralasan untuk tidak dapat melaksanakan perintah pengadilandengan dalihdiamanatkan UU Perbankan.

Menurutnya, berlakunya Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bentuk arogansi perbankan yang dilindungi juga OJK bahwabank itu hanya terikat oleh UU Perbankan. “UU lain tidak mempan untuk perbankan. Yang pasti putusan ini pasti berdampak luas, khususnya bagi sektor perbankan yang selama ini penafsirannya ngaco,” tegasnya.

Perjuangan hukum Suhaemi tak lepas dari musibah yang dialaminya. Pengelola Pasar Mayestik diduga membongkar toko Suhaemi di malam hari. Akibat pembongkaran itu, Suhaemi mengklaim kehilangan 10 kilogram emas. Upaya menuntut hak secara baik-baik ke PD Pasar Jaya selaku pengelola Pasar Mayestik gagal, sehingga Suhaemi mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Pusat.

Ia meminta ganti rugi dari PD Pasar Jaya. Pengadilan mengabulkan gugatan ganti rugi itu. Hakim memerintahkan pembayaran ganti rugi dilakukan melalui rekening PD Pasar Jaya di Bank DKI.

Pada 7 Maret 2014 lalu, PN Jakarta Pusat  melaksanakan eksekusi pencairan sesuai dengan penetapan pengadilan tertanggal 3 Maret 2014. Namun eksekusi pencairan pembayaran sepuluh kilogram emas tersebut tidak berhasil dilakukan. Sebab, Bank DKI beralasan pihaknya dapat mencairkan dana tersebut sepanjang pihak jurusita pengadilan membawa surat perintah pemindahbukuan atau cek/bilyet giro dari PD Pasar Jaya selaku pemilik rekening. Bank DKI mengklaim pencairan dana tersebut belum sesuai ketentuan hukum perbankan.

Tak terima, pemohon melaporkan Bank DKI kepada Kepolisian atas tuduhan Pasal 216 KUHP, Pasal 231 KUHP, dan Pasal 49 UU Perbankan. Namun, laporan Pemohon tidak dapat diterima oleh Kepolisian akibat Penjelasan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan dianggap tidak jelas maknanya. Alasan yang sama juga dipakai OJK untuk tidak menindaklanjuti laporan pemohon tersebut. Pemohon menganggap seharusnya pegawai bank yang tidak melaksanakan perintah pengadilan harus dikenai sanksi pidana karena tidak menjalankan wewenang dan tanggung jawabnya.
Tags:

Berita Terkait