Kita Bukan yang Dulu Lagi
Tajuk

Kita Bukan yang Dulu Lagi

Meskipun tahun-tahun di depan tidak menjanjikan kepastian, tetapi hanya menjanjikan ketidakpastian dan perubahan. Marilah kita sambut Tahun Baru 2022 dengan semangat untuk bangkit dan bekerja dengan kolaborasi yang menyenangkan.

Oleh:
RED
Bacaan 7 Menit

Sebelum pandemi, kita sudah belajar banyak bahwa proses pengambilan keputusan dilakukan dengan menggunakan: (i) prinsip-prinsip tata kelola yang baik, di tingkat publik maupun non-publik, sehingga transparansi, keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawabnya jelas, (ii) basis faktor-faktor risiko yang dapat dipetakan, dianalisa, dipantau, dan ditata sedemikian rupa, (iii) pertimbangan faktor perlindungan lingkungan hidup dan sosial sehingga jelas manfaat dan dampak lingkungan dan sosial dari keputusan yang diambil. Belum kering tinta ditulis, pandemi menyerang, dan kita rupanya melupakan atau terpaksa tidak menggunakan falsafah dan proses pengambilan keputusan yang sudah kita tanamkan dalam benak kita dalam-dalam, yang bahkan sebagian darinya merupakan perintah undang-undang yang harus dipatuhi.

Dalam pengeluaran kebijakan publik, terlihat adanya kecenderungan: (a) menggunakan kondisi kedaruratan sebagai dasar kebijakan, karena pandemi dan resesi seolah memberi hak mutlak pengambil keputusan untuk memahami semua masalahnya, memberikan semua solusinya, dan menyimpulkan sendiri semua dampaknya (positif maupun negatif) tanpa perlu melalui proses konsultasi dengan publik; (b) menentukan sendiri prioritas kepentingan apa yang harus diatur dan belum atau tidak diatur dalam kondisi serba tidak menentu ini; (c) suara publik, vox populi, tidak cukup didengar, dengan premis tadi, bahwa pengambil keputusanlah yang paling mengetahui kepentingan publik dan dampak kebijakannya terhadap masyarakat luas.

Contoh jelasnya adalah dalam proses keputusan mengubah UU KPK dan UU Minerba. Juga dalam menyusun UU Cipta Kerja serta kebijakan penanganan pandemi (kecepatan respons, testing dan tracing, perawatan mereka yang terinfeksi, penyediaan dan distribusi vaksin), utamanya di awal pandemi. Akibatnya jelas, masyarakat luas protes keras, menolak untuk patuh, atau setidaknya berkurang kepercayaannya terhadap para pelaksana yang berada di barisan terdepan dalam melaksanakan Undang-undang.

Protes dan pembangkangan tidak terjadi efektif, juga karena hambatan-hambatan yang disebabkan pandemi, yang mungkin suatu hal yang sudah diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan, sehingga ada kenekatan tertentu dalam pengambilan keputusan. Kita kemudian melihat bahwa sejumlah koreksi dilakukan tegas-tegas ataupun diam-diam, karena memang secara politik tidak mungkin keganjilan-keganjilan tersebut didiamkan.

Misalnya Mahkamah Konstitusi memberikan koreksi, unit terkait penanganan pandemi semakin baik menangani pandemi, dan bekerja berdasarkan kondisi lapangan yang cepat berubah. KPK yang kemudian bergolak, berujung dengan penyelesaian tidak lazim dengan intervensi Kapolri, sehingga nampaknya pada saat ini cukup teredam, tetapi masih mengandung masalah, karena UU KPK yang baru melemahkan institusi dan semangat para pegiat anti korupsi, di dalam dan di luar KPK.

Ke depan, dengan pemilu tahun 2024, di saat mulai terjadinya pergeseran kekuasaan, dan seperti biasa, maraknya politik uang, maka fungsi dan efektivitas KPK yang sudah tererosi bisa sangat dipertanyakan. Dengan kecenderungan tersebut, cara pengambilan kebijakan di unit-unit lain pemerintahan dan lembaga negara juga memerlukan perhatian khusus.

Justru itu terjadi pada saat di mana lembaga pengawas resmi maupun masyarakat sipil sulit bergerak karena pandemi, dan seretnya pendanaan. Kita kemudian melihat adanya potensi masalah besar di sini, yang dampaknya akan terasa langsung, maupun jangka panjang, karena kita tidak tahu bilamana pandemi akan berakhir.

Tags:

Berita Terkait