Klasifikasi Bentuk Badan Hukum dan Permodalan Lembaga Penjamin
Berita

Klasifikasi Bentuk Badan Hukum dan Permodalan Lembaga Penjamin

Seluruhnya dibalut dalam POJK Nomor 1/POJK.05/2017 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjamin.

FAT
Bacaan 2 Menit
Gedung OJK di Jakarta. Foto: RES
Gedung OJK di Jakarta. Foto: RES
Pada 11 Januari 2017 lalu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad menandatangani Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.05/2017 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjamin. Dalam POJK ini dijelaskan klasifikasi bentuk badan hukum dan permodalan bagi lembaga penjamin yang ada di Indonesia.

Dalam POJK disebutkan, ada tiga bentuk badan hukum lembaga penjamin, yakni perusahaan umum; perseroan terbatas; dan koperasi. Ketiga jenis badan hukum ini memiliki syarat berbeda sebagai pemiliknya masing-masing. Untuk badan hukum perusahaan umum, lembaga penjamin tersebut hanya boleh dimiliki oleh pemerintah pusat sesuai undang-undang yang mengatur tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sedangkan lembaga penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas, hanya bisa dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; WNI dan/atau badan hukum Indonesia tersebut bersama-sama dengan warga negara asing atau badan hukum asing; pemerintah pusat; dan/atau pemerintah daerah. (Baca Juga: OJK Siapkan Regulasi Buat Pelaku Fintech Berbasis On Balance Sheet)

Untuk kepemilikan asing pada lembaga penjamin berbentuk badan hukum perseoran terbatas, baik secara langsung maupun tidak langsung, modal yang disetor paling banyak sebesar 30 persen. Kepemilikan asing tersebut wajib disetor dalam bentuk uang yang ditempatkan di rekening bank dalam negeri atas nama lembaga penjamin. Badan hukum asing itu harus merupakan lembaga jasa keuangan di negara asalnya.

Sementara bentuk badan hukum lembaga penjamin yang ketiga adalah koperasi. Badan hukum ini hanya dapat dimiliki oleh anggota koperasi sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai perkoperasian. “Lembaga penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c yang melakukan kegiatan penjaminan tidak dapat bertindak sebagai penerima jaminan dan/atau terjamin,” bunyi Pasal 6 POJK ini. (Baca Juga: ‘Lampu Kuning’ Sektor Financial Services)

Terkait permodalan lembaga penjamin, ditetapkan sesuai dengan lingkup wilayah operasional. Jumlah modal disetor perusahaan penjaminan dan perusahaan penjaminan syariah ditetapkan paling sedikit Rp100 miliar untuk lingkup wilayah nasional; Rp25 miliar untuk lingkup wilayah provinsi; atau Rp10 miliar untuk lingkup wilayah kabupaten atau kota.

Untuk jumlah modal disetor perusahaan penjaminan ulang dan perusahaan penjaminan ulang syariah dengan seluruh lingkup wilayah operasional ditetapkan Rp200 miliar. Modal-modal tersebut wajib disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka atas nama perusahaan penjaminan dan perusahaan penjaminan ulang pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia.

Hal yang sama juga berlaku bagi perusahaan penjaminan syariah dan perusahaan penjaminan ulang syariah, modalnya disetor pada salah satu bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia. POJK ini juga mempertegas pentingnya memasukkan lingkup wilayah operasional lembaga penjamin yang terdiri atas wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota dalam anggaran dasar lembaga penjamin.

Pasal 12 POJK menyebutkan, setiap orang yang melakukan usaha penjaminan, penjaminan syariah, penjaminan ulang dan penjaminan ulang syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari OJK. Untuk memperoleh izin usaha tersebut, direksi harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK dengan melampirkan dokumen sebagi syarat yang diatur dalam Pasal 13 POJK ini. (Baca Juga: Regulasi-Regulasi “Penjaga Optimisme” di Sektor Jasa Keuangan)

Kemudian, OJK memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen atau penolakan atas permohonan izin usaha tersebut dalam jangka waktu paling lama 20 hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima. “Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 114 POJK yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada 11 Januari 2017 lalu tersebut.
Tags:

Berita Terkait