Koalisi Penyandang Disabilitas: 7 Ketentuan RUU Kesehatan Berpotensi Diskriminatif
Utama

Koalisi Penyandang Disabilitas: 7 Ketentuan RUU Kesehatan Berpotensi Diskriminatif

Seperti Pasal 4 ayat (3) draf RUU mengecualikan seseorang yang mengalami gangguan mental berat mendapatkan hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang diberikan kepada dirinya. Kemudian Pasal 135 ayat (2) hingga Pasal 334 dan 335.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Konferensi pers Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas menyikapi RUU Kesehatan secara daring, Minggu (19/3/2023). Foto: Ady
Konferensi pers Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas menyikapi RUU Kesehatan secara daring, Minggu (19/3/2023). Foto: Ady

DPR telah menetapkan RUU Kesehatan sebagai usul inisiatif DPR. Koalisi organisasi masyarakat sipil penyandang disabilitas dan organisasi penyakit kronis dan langka mendesak DPR dan Pemerintah tidak terburu-buru mengesahkan RUU Kesehatan. Partisipasi publik bermakna menjadi keharusan dalam pembentukan RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law.

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nursyamsi, mengatakan RUU yang menggunakan metode omnibus ini tak hanya mengganti UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tapi juga akan mencabut 8 UU lainnya. Dia mencatat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuka kanal untuk menjaring masukan masyarakat, tapi waktu yang diberikan sangat singkat dan sudah ditutup Jumat (17/03/2023) lalu.

Ruang partisipatif itu harus dibuka lebar, jangan sekedar simbol untuk justifikasi bahwa partisipasi publik sudah dilakukan. Koalisi mendesak pemerintah membuka kembali ruang partisipasi masyarakat. “Seharusnya pemerintah mempublikasikan pasal-pasal apa saja yang akan diatur dengan bahasa yang sederhana, tidak hanya membiarkan publik membaca draft RUU yang mencapai 400 lebih pasal,” ujarnya dalam konferensi pers Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas menyikapi RUU Kesehatan secara daring, Minggu (19/3/2023).

Baca juga:

Koalisi mencatat ada sejumlah pasal yang diskriminatif. Pertama, Pasal 4 ayat (3) RUU Kesehatan mengecualikan seseorang yang mengalami gangguan mental berat mendapatkan hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang diberikan kepada dirinya. Kedua, Pasal 135 ayat (2) yang mengatur bahwa hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kelulusan dalam proses seleksi. Pasal itu memposisikan seseorang dengan gangguan jiwa atau Kesehatan berpeluang kecil mendapatkan pekerjaan.

Ketiga, Pasal 245 ayat (3) huruf c menjadikan surat keterangan sehat fisik dan mental sebagai syarat kepemilikan surat tanda registrasi (STR), sehingga bagi mereka yang tidak dalam kondisi sehat fisik dan mental tidak dapat memiliki atau memperpanjang STR. Ketentuan yang hampir sama ada pada Pasal 259 ayat (1) huruf b yang menjadikan syarat sehati jasmani dan rohani untuk menjadi calon anggota Konsil Kedokteran.

Keempat, Pasal 104 ayat (5) memberikan ketidakpastian karena seolah mengembalikan hak seseorang untuk menentukan tindakan medis terhadap dirinya sendiri. Padahal sejak awal seharusnya negara melalui UU tidak mencabut hak seorang pasien untuk menentukan menerima dan menolak tindakan kesehatan atas dirinya.

Kelima, Pasal 109 ayat (1) mengatur bahwa seseorang yang diduga kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan jiwa. Fajri melihat pasal itu tidak menjelaskan apa fungsi pemeriksaan yang dilakukan, karena jika dilakukan untuk dasar menjadikan seseorang di bawah pengampuan, maka itu adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Seharusnya pemeriksaan kesehatan jiwa dilakukan untuk menentukan dukungan apa yang harus diberikan oleh orang disekitarnya untuk memastikan yang bersangkutan tetap dapat menggunakan hak keperdataannya,” ujarnya.

Perwakilan dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Indonesia Lutfy Mubarok melanjutkan poin berikutnya. Keenam, pasal lain yang perlu dikritisi adalah terkait dengan pengaturan mengenai obat-obatan. Kondisinya saat ini, ketersediaan obat untuk beberapa penyakit kronis, dan obat yang rutin dikonsumsi oleh penyandang disabilitas mental tak selalu ada di fasilitas kesehatan tingkat I.

Ketentuan Pasal 334 dan 335 belum kuat untuk memastikan ketersediaan obat, ragam obat, batasan dosis yang ketersediaannya harus sama dengan yang tersedia di faskes tingkat kabupaten atau propinsi. Selain itu, obat-obat yang dimaksud perlu secara otomatis masuk dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)

Ketujuh, pasal lainnya terkait ketentuan yang mengatur rumah sakit (RS), khususnya yang menyediakan pelayanan kesehatan jiwa. Pasal 113 dinilai belum berhasil menjawab masalah yang dihadapi selama ini. Misalnya, kerap terjadi kekerasan terhadap penyandang disabilitas mental dalam layanan kesehatan.

Lutfy mengusulkan Pasal 113 perlu mengatur larangan terhadap pelayanan di RS untuk melakukan tindakan isolasi, pengurungan, penggundulan, dan/atau pengikatan terhadap pasien jiwa. Selain itu, sepanjang memberikan layanan perlu dipastikan adanya persetujuan dari pasien jiwa.

Koalisi organisasi masyarakat sipil yangg terdiri dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), PJS Sumatera Barat, SIGAB Indonesia, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, PJS Blitar, PJS Jakarta, Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, SAPDA, Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI), FORMASI, ADF, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), DPP Gerkatin, OHANA, CIQAL, PPUAD, dan KASIH RUMALA Group merekomendasikan sedikitnya 4 hal.

Pertama, membuka ruang partisipasi bagi organisasi penyandang disabilitas serta organisasi penyakit kronis dan langka untuk memberikan masukan terhadap RUU Kesehatan seluas mungkin, dengan tidak membatasi ruang dan waktu pemberian masukan tersebut. Membuat materi-materi publikasi terkait ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam RUU Kesehatan dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, sehingga tercipta ruang transparansi yang baik.

Ketiga, menghilangkan sejumlah Pasal yang bersifat diskriminatif terhadap penyandang disabilitas dan orang dengan penyakit kronis dan langka dari RUU Kesehatan. Keempat, memperkuat ketentuan-ketentuan yang masih belum tegas dalam menyelesaikan permasalah di lapangan.

Tags:

Berita Terkait