Kode Senyap Kepolisian
Kolom

Kode Senyap Kepolisian

Penting untuk memutar kembali memori masyarakat bahwa keganjilan penanganan barang bukti dalam perkara-perkara besar bukan cerita baru di Indonesia.

Bacaan 7 Menit
Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa
Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa

Kotak pandora peristiwa pembunuhan di kompleks Polri Duren Tiga Jakarta Selatan yang menewaskan Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat mulai terkuak. Setelah penantian panjang nan melelahkan, akhirnya Kapolri mengumumkan bahwa dalang di balik peristiwa keji tersebut tak lain merupakan atasan korban langsung, yakni Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo. Bukan hanya itu, jajaran petinggi Polri juga menyebutkan ada puluhan anggota Korps Bhayangkara terindikasi kuat melanggar kode etik. Terlepas dari substansi perkara, menarik untuk menelusuri kemungkinan adanya fenomena klasik di tubuh kepolisian, yakni code of silence atau suatu kode senyap.

Jauh sebelum kejadian yang menarik perhatian publik seantero Indonesia ini, di belahan dunia lain istilah kode senyap kepolisian bukan hal mengejutkan. Pengistilahan itu merujuk pada kebiasaan anggota kepolisian yang selalu berupaya menutup-nutupi kesalahan rekan sejawatnya. Dalam istilah lain, kultur menyimpang itu lazim dikenal dengan sebutan “Jiwa Korsa” atau esprit de corps. Tentu jika diletakkan pada proporsi ideal, semangat tersebut bisa berdampak positif, terutama untuk menjaga soliditas di kepolisian. Masalahnya ketika hal itu dilakukan secara berlebihan sudah barang tentu menimbulkan dampak negatif, salah satunya bias struktural.

Secara historis bukti konkret bahwa kode senyap sudah eksis sejak lama dapat melihat pada peristiwa di Amerika Serikat awal tahun 1971 lalu. Kala itu, seorang anggota kepolisian New York, Frank Serpico, sedang berupaya membongkar praktik bisnis gelap narkotika. Alih-alih didukung oleh rekan kerjanya, ia justru mendapatkan perlawanan dengan serangkaian tindakan brutal, bahkan sampai ditembak, karena dianggap mengganggu rantai pasok korupsi anggota kepolisian.

Baca juga:

Hingga pada akhirnya Walikota New York, John Lindsay, membentuk Komisi KNAPP guna membongkar praktik korupsi tersebut. Benar saja, temuan komisi itu mengonfirmasi adanya persekongkolan korup yang sistematis dan terorganisir di internal kepolisian New York. Secara sederhana bisa dikatakan kode senyap telah terjadi yang bermuara pada tindakan permisif terhadap praktik kejahatan.

Di Indonesia sendiri, praktik kode senyap sulit dibantah telah terjadi dalam pusaran konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri beberapa waktu lalu, tepatnya saat kejadian Cicak vs Buaya. Bagaimana tidak, saat KPK berupaya membongkar praktik korupsi simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi Polri, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, pada saat bersamaan kepolisian malah memulangkan puluhan penyidiknya dari lembaga antirasuah. Mengingat memoar itu tak salah jika kemudian masyarakat berprasangka bahwa kepolisian setengah hati mendukung, bahkan cenderung melawan, pengusutan KPK di gedung Korlantas Polri. Apakah tindakan itu dapat dikategorikan sebagai kode senyap? Saya sendiri meyakini itu.

Dari sejumlah contoh di atas, semakin terang benderang bahwa menduga adanya kode senyap dalam suatu penanganan perkara bukan hal yang sulit. Jika dilihat dari sudut pandang motif terjadinya kode senyap dapat dibagi menjadi dua aspek, yakni, dorongan karena ada sesuatu yang dijanjikan dan upaya menyelamatkan atau “mencuci” kesalahan atasan. Untuk bagian pertama terlihat jelas pada kejadian yang menimpa Frank, yakni bahu membahu antar polisi guna mengamankan bisnis narkotika demi melanggengkan praktik korupsi. Sedangkan menyelamatkan atasan kemungkinan terjadi dalam sengkarut KPK dan Polri, khususnya karena pelaku memiliki jabatan mentereng di institusinya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait