Kode Senyap Kepolisian
Kolom

Kode Senyap Kepolisian

Penting untuk memutar kembali memori masyarakat bahwa keganjilan penanganan barang bukti dalam perkara-perkara besar bukan cerita baru di Indonesia.

Bacaan 7 Menit

Penting untuk memutar kembali memori masyarakat bahwa keganjilan penanganan barang bukti dalam perkara-perkara besar bukan cerita baru di Indonesia. Jauh sebelum kejadian Yosua, peristiwa penyiraman air keras kepada mantan Penyidik KPK, Novel Baswedan, terjadi pola serupa, diantaranya, CCTV di sekitaran TKP yang memiliki resolusi tinggi tidak dijadikan barang bukti, sidik jari pelaku pada botol dan gelas berisi cairan air keras hilang, dan Cell Tower Dumps (metode pengecekan lintasan komunikasi di suatu lokasi) tidak pernah digunakan. Jadi, pengulangan kejadian seperti itu menandakan bahwa kepolisian belum berbenah dalam menjamin objektivitas dan profesionalitas penanganan perkara. Jangan lupa, pelaku yang akhirnya dijatuhi pidana dalam peristiwa penyiraman air keras merupakan kader Korps Bhayangkara.

Ada hal lain yang juga ganjil saat awal mula Polres Jaksel mengumumkan konstruksi peristiwa di komplek Polri tersebut. Betapa tidak, kejadian yang terbilang besar itu baru diumumkan tiga hari setelah Yosua meregang nyawa. Alasannya harus diakui cukup membuat dahi masyarakat mengernyit, yakni karena saat itu terdapat peringatan hari besar atau masa libur. Ditambah saat konferensi pers, tak satu pun barang bukti diperlihatkan oleh Polres sebagaimana lazim terjadi pada pengungkapan perkara-perkara lain.

Terlepas dari itu, lalu muncul pertanyaan penting, jika benar ada kode senyap di balik peristiwa pembunuhan tersebut, kapan skenario tersebut disusun oleh pelaku? Penting disampaikan, berdasarkan penelusuran jurnalis, ada temuan terkait komunikasi Ferdy dengan mantan Penasihat Kapolri, Fahmi Alamsyah, sebelum konferensi pers awal Kapolres Jaksel. Diduga percakapan itu berisi skenario untuk membelokkan peristiwa penembakan yang sebenarnya. Maka dari itu, besar kemungkinan pada fase ini dilakukan rencana kode senyap pembunuhan Yosua.

Untuk menerka motif, berdasarkan analisa di atas, baik aspek iming-iming yang dijanjikan pelaku intelektual atau menyelamatkan atasan diduga kuat terpenuhi. Motif pertama merujuk pada komunikasi antara Ferdy dengan tiga tersangka lainnya perihal uang yang dijanjikan mantan Kadiv Propam itu, Richard akan memperoleh Rp1 miliar, sedangkan Ricky dan Kuat masing-masing mendapatkan Rp500 juta.

Atas dasar ini, diduga para pelaku menyimpan skenario sebenarnya di hadapan penyidik saat awal proses pemeriksaan dan tak lupa bahwa mereka semua merupakan bawahan langsung Ferdy. Lalu menengarai motif ke dua tentu berdasarkan pangkat dan jabatan yang diemban oleh pelaku intelektual. Dengan bintang dua di pundaknya sekaligus menjabat sebagai Kadiv Propam, bukan hal sulit bagi Ferdy memerintahkan puluhan anggota Polri agar menuruti kemauannya.

Baru-baru ini Polri juga disorot oleh masyarakat berkaitan dengan jiwa korsa kelembagaan yang terlalu berlebihan. Tepatnya pada periode Mei hingga Juni lalu saat terungkap fakta bahwa kepolisian masih mempekerjakan mantan narapidana korupsi, Raden Brotoseno. Meskipun akhirnya ia telah diberhentikan melalui jalur peninjauan kembali putusan kode etik, namun fakta bahwa Brotoseno kembali bekerja sebagai aparat penegak hukum tak terbantahkan. Dari situ saja masyarakat sudah bisa menilai betapa rapuhnya keseriusan Polri dalam menindak kadernya yang bermasalah.

Terakhir, peristiwa tewasnya Yosua dengan dibumbui skenario kebohongan mesti dijadikan refleksi mendalam bagi Polri. Tak main-main, sekurang-kurangnya dua perwira tinggi dan tiga belas perwira menengah Korps Bhayangkara diduga memainkan peran dalam kode senyap ini. Maka dari itu, opsi langkah Kapolri tersisa satu, yakni melakukan penindakan, baik etik maupun pidana, para pelanggar tersebut. Sembari itu, memastikan soliditas antar anggota menjadi penting, namun bukan untuk membantu atasan melakukan kejahatan, melainkan memperkuat internal kelembagaan.

*)Kurnia Ramadhana adalah Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait