Konsep Remisi PP 99/2012 Dinilai Sejalan dengan Hukum Pidana Islam
Berita

Konsep Remisi PP 99/2012 Dinilai Sejalan dengan Hukum Pidana Islam

Khususnya terkait teori pemaafan. Namun, jika pemberian remisi malah munculkan mudharat, wajib ditolak.

Oleh:
CR19
Bacaan 2 Menit
Seminar ‘Problematika Pemberian Remisi’ yang diadakan di kantor Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Selasa (27/10). Foto: CR19
Seminar ‘Problematika Pemberian Remisi’ yang diadakan di kantor Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Selasa (27/10). Foto: CR19

Salah satu hak narapidana berdasarkan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah soal pemberian remisi. Pasal 14 UU tersebut pada dasarnya mengatur bahwa hak-hak narapidana diberikan tanpa pembedaan perlakuan sebagai tanggung jawab pemerintah dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak narapidana. Namun, PP Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur lain.

Dalam PP 99/2012 disebutkan bahwa ada perbedaan persyaratan bagi narapidana untuk tindak pidana tertentu terutama terkait dengan syarat dan mekanisme pemberian remisi. Hal ini pun mengundang sejumlah pandangan. Salah satunya datang dari Dosen Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurul Irfan.

Ia melihat konsep remisi dalam PP 99/2012 memiliki persamaan dengan konsep teori pemaafan dalam hukum pidana Islam. Menurutnya, teori pemaafan hanya berlaku pada jenis Jarimah (tindak pidana) Qishas dan Takzir. Sementara itu, korupsi jika dilihat dari hukum pidana Islam termasuk dalam wilayah Jarimah Takzir sehingga berlaku pemaafan dan dapat diberikan remisi.

“Padahal besar kemungkinan pendapat publik berkeberatan bila koruptor diberi remisi. Dikhawatirkan akan melenyapkan efek jera dan memicu terjadinya tindak pidana korupsi secara massive,” kata Irfan dalam seminar ‘Problematika Pemberian Remisi’ yang diadakan di kantor Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, di Jakarta, Selasa (27/10)..

Namun, Irfan menambahkan, jika pemberian remisi akan membawa mudharat terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi maka pemberian remisi itu wajib ditolak. Hal ini sesuai kaidah fiqh yang ia kutip, ‘Menyingkirkan mudharat wajib diutamakan ketimbang mengupayakan kemaslahatan’.

Menurut Irfan, aplikasi dari kaidah fiqh tersebut bisa dimaknai dengan pemberian remisi terhadap koruptor harus ditolak karena menyebabkan mudharat-mudharat yang lebih banyak lagi. “Oleh sebab itu pemberian remisi kepada para pelaku delik-delik di atas harus ditolak. Wallahu a’lam bisshawab,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), Indra Sahnun Lubis, mengatakan pemberian remisi jika dilihat dari sudut pandang HAM wajib sejalan dengan jaminan perlindungan yang diberikan oleh konstitusi. Sehingga, tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif terhadap narapidana, baik itu narapidana tindak pidana korupsi atau pelaku tindak pidana lainnya.

Tags:

Berita Terkait