Konstitusionalitas Jabatan Wakil Menteri Kembali Diuji
Utama

Konstitusionalitas Jabatan Wakil Menteri Kembali Diuji

Selain pemborosan anggaran negara, pengisian pos jabatan wakil menteri saat ini dinilai tidak jelas urgensinya. Majelis meminta Pemohon menguraikan bagian legal standing secara lebih spesifik agar terlihat kerugian hak konstitusional sebagaimana termuat dalam AD/ART-nya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin telah mengangkat 12 wakil-wakil menteri dalam Kabinet Indonesia Maju, Jumat (25/10/2019) lalu. Diantaranya, Wakil Menteri Luar Negeri, Wakil Menteri Pertahanan, Wakil Menteri Agama, Wakil Menteri Keuangan, Wakil Menteri Perdagangan, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala BPN, 2 Wakil Menteri BUMN.

 

Namun, banyaknya jabatan wakil menteri (wamen) itu dipersoalkan elemen masyarakat melalui pengujian Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pemohonnya, Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Bayu Segara. Alasannya, selain merasa dirugikan hak konstitusionalnya, aturan pengadaan jabatan wakil menteri praktiknya tidak jelas urgensinya yang mengakibatkan pemborosan anggaran negara.

 

“Aturan jabatan wakil menteri praktiknya menghabiskan anggaran negara,” ujar kuasa hukum Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, Selasa (10/12/2019). Baca Juga: MK: Jabatan Wamen Tetap Konstitusional

 

Pasal 10 UU Kementerian Negara menyebutkan “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada Kementerian tertentu.”

 

Victor menilai pengangkatan sejumlah wakil menteri secara subjektif oleh Presiden tanpa kejelasan urgensinya, mengakibatkan negara harus menghabiskan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) berupa fasilitas rumah dinas, kendaraan dinas, biaya operasional, gaji, tunjangan jabatan, sekretaris, ajudan, staf pembantu, supir, dan lain-lain.

 

“Pemohon yang juga pembayar pajak tentunya berharap agar APBN semestinya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, membuka lapangan pekerjaan demi kesejahteraan rakyat,” kata dia.  

 

Menurutnya, keberadaan jabatan wakil menteri dalam praktik secara subjektif tanpa adanya kejelasan kedudukan, tugas dan fungsi serta wewenang dalam UU Kementerian Negara yang lebih lanjut diatur dalam peraturan presiden. Hal ini tentunya membuat Pemohon (sebagai lembaga kajian) mengalami kesulitan menjelaskan secara konstitusional terhadap fenomena praktik ketatanegaraan ini.    

 

Sebelumnya, MK pernah memutuskan pengujian Pasal 10 UU Kementerian Negara ini. Dalam Putusan MK No. 79/PUU-IX/2011 tertanggal 5 Juni 2012, MK menghapus Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Artinya, Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘Wakil Menteri’ adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet” dianggap tidak berlaku.

 

Namun, Mahkamah dalam putusannya, menegaskan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang mengatur jabatan wakil menteri (wamen) dalam kementerian tertentu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mengandung persoalan konstitusionalitas norma. "Putusan MK No. 79 Tahun 2011 itu memberi syarat bahwa wakil menteri harus jelas urgensinya. Dalam beberapa periode posisi wakil menteri tidak pernah jelas urgensinya, terkesan hanya untuk memberi (bagi-bagi) jabatan politik," lanjut Victor.

 

“Putusan MK itu memandang tidak ada persoalan konstitusionalitas norma terhadap posisi wakil menteri, sehingga tidak dilarang. Hanya saja, saat ini tidak ada urgensinya untuk mengangkat jabatan wakil menteri."

 

Ia mencontohkan pengangkatan dua wakil menteri di Kementerian BUMN yang dianggap rangkap jabatan. Hal itu berlawanan dengan tujuan pengangkatan wakil menteri untuk beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus. Faktanya dua wakil menteri menduduki jabatan di kementerian BUMN itu rangkap jabatan menjadi Komisaris Pertamina dan Komisaris Bank Mandiri.

 

“Pertanyaannya, kalau tugasnya penting dan banyak, kenapa rangkap jabatan? Itu fakta bahwa tidak ada kerjanya wakil menteri ini, sehingga diberikan rangkap jabatan untuk menangani tugas tertentu," lanjutnya.

 

Ditegaskan Victor, secara (penafsiran) sistematis, jabatan wakil menteri dalam UU Kementerian Negara tidak mengatur kedudukan, tugas, fungsi wakil menteri dalam urusan pemerintahan. Hanya ada satu pasal yang mengatur jabatan wakil menteri yakni Pasal 10 UU Kementerian Negara. Struktur organisasi kementerian yang diatur Pasal 9 UU Kementerian Negara pun tidak ada struktur kedudukan wakil menteri didalamnya.

 

Terkait pengaturan kedudukan dan fungsi, tugas dan wewenang wakil menteri diatur dengan Peraturan Presiden. Tindakan ini pun tidak sesuai amanat konstitusi dimana kedudukan, tugas, fungsi, urusan dalam pemerintahan bagi wakil menteri adalah masuk materi muatan UU.

 

“Tentunya, tindakan yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan karena memberi kewenangan kepada wakil menteri tanpa melibatkan DPR sebagai representasi wakil rakyat telah bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kepastian hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945,” dalihnya.

 

Baginya, jika melihat original intent pembentukan UUD Tahun 1945 dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK tahun 2010, tidak ada satupun yang membahas jabatan wakil menteri termasuk kedudukan, tugas dan fungsi wakil menteri. Sebab, Pasal 17 ayat (1) UUD Tahun 1945 hanya memberi kewenangan konstitusional kepada menteri sebagai pembantu presiden.

 

“Secara original intent, dapat dikatakan Pembentuk UU tidak melihat urgensi diperlukannya jabatan wakil menteri untuk membantu tugas menteri dalam menjalankan urusan pemerintahan, karena menteri sudah dibantu sekretariat jenderal dan pelaksana tugas pokok yakni direktoral jenderal dan jajaran lain di bawahnya yang diawasi inspektorat jenderal,” jelasnya.

 

Karena itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah Pasal 10 UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara dihapus atau dibatalkan karena sejatinya bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

 

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Anwar Usman mengatakan legal standing Pemohon sebagai status pembayar pajak, sehingga wakil menteri membebani anggaran APBN ya. “Mau tidak mau ini mempengaruhi keuangan negara ya? Namun, keterkaitan legal standing pembayar pajak dengan Ketua FKHK mesti diuraikan lebih lanjut ya,” sarannya.  

 

Anggota Majelis Manahan MP Sitompul meminta terkait legal standing Pemohon sebagai pembayar pajak, harus dijelaskan lebih spesifik lagi kerugian konstitusionalnya. “Sebagai Ketua FKHK meski sudah ada AD/ART-nya, perlu diuraikan lebih lanjut, mana kira-kira dari AD/ART-nya yang benar-benar menyatakan ada kerugian konstitusional Pemohon terkait berlakunya Pasal 10 UU Kementerian Negara ini?”

Tags: