Kontroversi Permendikbud, HNW: Mestinya Menteri Agama Tidak Dukung
Pojok MPR-RI

Kontroversi Permendikbud, HNW: Mestinya Menteri Agama Tidak Dukung

Kontroversi kembali diulangi Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dengan keluarnya Permendikbudristek No mor 30/2021.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA. Foto: Istimewa.
Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA. Foto: Istimewa.
Banyak  pihak kata HNW mempersoalkan frasa “bila itu terjadi dengan tidak sepersetujuan” (sexual consent) yang dapat diartikan bahwa bila “sepersetujuan” maka sekalipun perbuatan seksual tersebut menyimpang atau asusila seperti perzinahan, seks bebas, seks di luar nikah, oleh Permendibudristek ini dianggap bukan suatu persoalan yang harus dicegah dan ditangani. Sekalipun  perbuatan seksual itu tidak sesuai dengan Pancasila, agama, hukum, norma sosial dan tujuan pendidikan nasional di Indonesia. 
HNW mengingatkan,    tujuan pendidikan nasional yang   termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI 1945 sangat menghormati agama dan mementingkan nilai-nilai agama. Seperti, iman, taqwa, akhlak mulia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, “Permendikbud ini   secara tidak langsung menjadi payung aturan untuk tidak mempermasalahkan seks bebas, perzinahan, maupun hubungan seksual lain di perguruan tinggi.  Sekalipun  itu dilarang oleh agama, hukum dan tak sesuai dengan norma sosial di Indonesia, selama hubungan seksual itu terjadi tanpa kekerasan dan atau terjadi dengan persetujuan (suka sama suka),” ujarnya. 
Menurut HNW, demi  bisa terwujudnya tujuan pendidikan nasional   dan ketaatan pada   Sila pertama Pancasila, semestinya Kementerian Agama menjadi rujukan dan keteladanan.  Termasuk  dalam produk legislasi dan aturan yang diedarkan ke sekolah maupun perguruan tinggi keagamaan. Bukan  justru mendukung aturan yang bermasalah seperti Permendikbud itu. 
Dikatakan HNW, kritik dan penolakan yang disampaikan juga berangkat dari keprihatinan yang sama, yaitu,  koreksi terhadap kejahatan seksual termasuk kekerasan seksual. Bahkan   kritik dan penolakan itu   menyertakan solusi, agar peraturan Menteri itu dapat efektif,  tidak  kontroversi dan menuai penolakan luas, agar kejahatan seksual baik dengan kekerasan atau tidak, dengan persetujuan atau tidak, di Perguruan Tinggi maupun lainnya, dapat dikoreksi dengan Permendibud baru (hasil revisi), yang bisa dilaksanakan dengan tanpa kontroversi, karena kesesuaiannya dengan Pancasila, UUD, Agama dan hukum serta norma sosial yang berlaku umum di Indonesia. 
“Agar Permendikbud  itu bisa bersatu bersama keprihatinan publik, dan  tujuan pendidikan nasional  dapat diwujudkan, dengan bisa dicegah dan diatasinya kejahatan dan kekerasan seksual di perguruan tinggi maupun jenjang pendidikan lainnya, untuk bisa mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang sangat menghormati agama dan nilai-nilai keagamaan, sebagaimana diatur oleh pasal 31 ayat 3 dan 5 UUDNRI 1945,” kata HNW.
JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritisi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Menag. Menurut Hidayat, Menag  mestinya menasehati Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim terkait Peraturan Mendikbudristek No. 30 Tahun 2021, tentang  pencegahan dan penanganan kekerasaan seksual di perguruan tinggi, yang ditolak oleh banyak pihak, termasuk    Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI).  Substansinya Permendikbud tersebut bisa menggagalkan tujuan pendidikan nasional, lantaran   tidak sesuai dengan Pancasila, UUD NRI 1945, norma agama, dan kepatutan sosial. 
“Seharusnya Menag menasehati Mendikbudristek yang kembali membuat kebijakan yang mengabaikan agama.   Sebelumnya   Kemendikbud juga membuat Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang ditolak publik, karena tak sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Akhirnya Peta Jalan tersebut ditarik oleh Kemendikbud.   Kontroversi   itu kini   diulangi dengan  keluarnya Permendikbudristek no 30/2021. Seperti  Peta Jalan Pendidikan Nasional, juga tak sesuai dengan Pancasila, UUD NRI 1945 dan Agama. Dan seperti Peta Jalan Pendidikan Nasional, Permendikbudristek   ini juga ditolak oleh  masyarakat. Karena itu  mestinya Menag menasehati Mendikbudristek agar mengoreksi Permen tersebut dengan menarik atau merevisi serta tidak mengulangi membuat Permen yang kontroversial, agar  tujuan pendidikan nasional dapat diwujudkan,” ujar HNW, sapaan akrab Hidayat, di Jakarta, Rabu (10/11/2021). 
Sebagaimana diberitakan sejumlah media yang merujuk pada laman resmi Kemenag, Menag Yaqut mendukung Menteri Nadiem dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021.  Dan  malah akan menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag bagi perguruan tinggi keagamaan negeri di seluruh Indonesia. 
“Sikap Menag itu wajar  dikritisi.   Kita   prihatin   terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi, dan kita   sepakat untuk mencegah,   dan mencari jalan untuk mengatasinya. Tetapi Permindikbud itu bermuatan ketentuan-ketentuan yang tidak efektif untuk mencegah dan mengatasi, karena hanya menyoal satu sisi “kekerasan seksual”, dan mengabaikan fakta   “kejahatan seksual yang terjadi dengan tanpa kekerasan atau dengan sepersetujuan”, suatu kejahatan seksual yang   banyak terjadi di perguruan tinggi, dengan korbannya dari kalangan perempuan. Dengan demikian Permendikbudristek itu  juga tak sesuai dengan ketentuan dasar dalam Pancasila, UUDNRI 1945 serta nilai-nilai agama dan hukum yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.
HNW mengatakan,   Menag tentu   mengetahui bahwa dalam beberapa hari terakhir muncul banyak penolakan terhadap Permendikbudristek No.30/2021. Kritik dan penolakan muncul dari kalangan kampus, seperti dari Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia, Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian PP Muhammadiyah, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, dan juga 14 Ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI).  Penolakan  juga datang dari Ketua Ikatan Dokter Indonesia bersatu. 
“Pimpinan Majelis Ulama Indonesia juga mengkritik dan menolak Permendikbudristek tersebut, agar dicabut atau direvisi, seperti yang disampaikan oleh Ketua Bidang Fatwa MUI KH Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, Wasekjend MUI Bidang Hukum dan HAM Ikhsan Abdullah dan Ketua MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis, Ph.D. Semua  menilai   aturan yang ada dalam Permendibudristek terutama Pasal 5 ayat (2) bermuatan ketentuan-ketentuan yang bermasalah terkait frasa ‘tanpa persetujuan,’”ujarnya.
Halaman Selanjutnya:
Tags: