Korupsi Korporasi dan Bentuk Pertanggungjawaban Pidananya
Terbaru

Korupsi Korporasi dan Bentuk Pertanggungjawaban Pidananya

Dalam perkembangannya, sejak reformasi banyak kasus tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara yang disidangkan dan dijatuhi hukuman kepada perorangan.

Oleh:
CR-27
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dijelaskan bahwa selain perorangan, korporasi merupakan subjek hukum yang dapat didakwa melakukan tindakan perkara korupsi. Namun dalam praktiknya pengajuan korporasi sebagai terdakwa tindak pidana korupsi masih jarang terjadi. Korporasi masih menjadi perdebatan dalam bidang subjek hukum meski kehadirannya di dalam peraturan perundang-undangan sudah dikenal.

Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Laode M. Syarif, pernah berpendapat ada banyak undang-undang yang mengatur tindak pidana kasus korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Hasil penelitian Biro Hukum KPK mencatat, Indonesia memiliki lebih dari 60 undang-undang sektoral yang mengakui adanya tanggung jawab pidana korporasi.

Dalam perkembangannya, sejak reformasi banyak kasus tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara yang disidangkan dan dijatuhi hukuman kepada perorangan. Hampir semua pelaku tindak pidana korupsi adalah perorangan. Hingga saat ini, dapat dihitung dengan jari kasus tindak pidana korupsi yang menjadikan korporasi sebagai terdakwanya. Di antara kasus korupsi korporasi yang terkuak ke masyarakat umum, salah satunya adalah kasus korupsi oleh PT Giri Jaladhi Wana, yang dijerat dengan UU Tipikor dan kasus korupsi oleh PT Indosat Tbk dan PT Indosat Mega Media.

PT Giri disinyalir menjadi korporasi pertama dalam perkara korupsi penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin pada 2010. Pengadilan Tinggi Banjarmasin menjatuhkan pidana denda Rp 1,3 miliar dan pidana tambahan berupa penutupan, sementara PT Giri selama enam bulan. Ketika itu, Kasi Pidsus Kejari Banjarmasin, Ramadani menyatakan kasus yang dihadapi oleh PT Giri terbukti bersalah dan PT Giri tidak mengajukan kasasi. (Baca: OTT Perdana KPK di 2022: Wali Kota dan ASN Pemkot Bekasi)

“Perkara PT Giri sudah berkekuatan hukum tetap di tingkat banding. Setelah pengadilan Tinggi Banjarmasin memutus PT Giri terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, PT Giri tidak mengajukan kasasi dan menerima putusan banding,” katanya saat itu.

UU Tipikor tidak memberikan ketentuan yang cukup jelas mengenai suatu korporasi dapat dipandang melakukan tindak pidana korupsi. UU Tipikor dalam Pasal 20 ayat 2 hanya memberikan ketentuan tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama, namun tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan ‘hubungan kerja’ ataupun ‘hubungan lain’.

Dampak dari ketidakjelasan maksud dan tujuan dari hal ini nantinya akan dapat menimbulkan kesulitan dalam menentukan kapan suatu korporasi dipandang melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.

Hal ini nantinya akan menimbulkan anggapan apakah korporasi tersebut hanya diuntungkan atau diperkaya, namun tidak dijelaskan lagi mengenai perbuatan materil pelaku apakah korporasi terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dapat diajukan sebagai tersangka.

Kejahatan korporasi merupakan suatu bentuk kejahatan yang saat ini melanda banyak negara yang menimbulkan kerugian negara dan meluas di masyarakat. Kejahatan korporasi sayangnya masih sangat sulit dilihat karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan terus menerus. Kejahatan korporasi sering melibatkan keahlian profesional dan sistem organisasi yang kompleks. Adanya penyebaran tanggungjawab yang luas akibat kompleksitas organisasi juga membuat kejahatan korporasi sulit dideteksi.

Dalam hukum pidana, KUHP telah mengatur bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, namun tanggungjawab untuk itu dibebankan kepada pengurusnya. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 35 UU No.3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

Pasal 35 ayat 1 menegaskan apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal 32, 33 dan 34 undang-undang ini dijatukan oleh suatu badan hukum, penuntutan pidana dikenakan dan pidana dijatuhkan terhadap pengurus atau pemegang kuasa dari badan hukum itu. Ayat 2 ketentuan ayat 1 dalam pasal tersebut diperlakukan sama terhadap badan hukum yang bertindak sebagai atau pemegang kuasa dari suatu badan hukum.

Selain pengurus atau pemegang kuasa dari badan hukum korporasi tersebut yang bertanggung jawab atas semua tindak pidana, para pemberi perintah dan atau mereka yang bertindak sebagai pimpinan turut mempertanggungjawabkan pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Ketentuan tersebut turut diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU No.38 tahun 1960 Tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman Tertentu. UU No.2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal, juga dikenal dengan adanya pertanggungjawaban pidana korporasi oleh pengurus, badan hukum, sekutu aktif, pengurus yayasan, wakil atau kuasa di Indonesia dari perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah NKRI.

Dari ketentuan KUHP tersebut, dilihat bahwa kasus korupsi korporasi membebankan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus, pemegang kuasa dari badan hukum, sekutu aktif dan badan wakil atau penerima kuasa.

Pertanggungjawaban pidana korupsi korporasi pertama kali diatur dalam UU Drt No.7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, khususnya dalam Pasal 5 ayat 1. Lalu, dalam perkembangannya lahir berbagai aturan perundang-undangan diluar KUHP yang mengatur hal serupa, yaitu pada Pasal 39 UU No.3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, Pasal 24 UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, Pasal 20 UU Tipikor dan undang-undang lainnya.

Pertanggungjawaban korporasi dalam kasus tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam rumusan Pasal 20 UU Tipikor yang menjabarkan 7 bentuk pertanggungjawaban korupsi korporasi.

Pertama, dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka jika tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

Kedua, tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Ketiga, dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi maka korporasi terus diwakili oleh pengurus. Keempat, pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain. Keempat, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

Kelima, dalam tuntutan pidana yang dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan ke pengurus di tempat tinggal pengurus atau tempat dimana pengurus berkantor.

Keenam, pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu pertiga.

Tags:

Berita Terkait