KPPOD Kritik Putusan MK Terkait Pembatalan Perda
Utama

KPPOD Kritik Putusan MK Terkait Pembatalan Perda

Oleh:
AIDA MARDATILLAH
Bacaan 2 Menit
Diskusi media bertemakan “Merespon Keputusan MK terhadap Pembatalan Perda” yang diselenggarakan KPPOD di Gedung Permata, Jakarta, (20/6). Foto: AID
Diskusi media bertemakan “Merespon Keputusan MK terhadap Pembatalan Perda” yang diselenggarakan KPPOD di Gedung Permata, Jakarta, (20/6). Foto: AID
Dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 terkait pengujian UU No. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang menghapus kewenangan Mendagri membatalkan Peraturan Daerah (Perda) kabupaten/kota dan provinsi mendapat kitik dari sebagian kalangan. Kritik dan sejumlah catatan datang dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).      

Ketua KPPOD P. Agung Pambudhi menilai putusan MK No. 137/2015 dan putusan MK No. 56/2016 itu bahwa MK masih gagap dan gagal memahami fakta dan persoalan pokok yang diputuskan. Sebab, MK tidak melihat skala yang lebih luas, dan terjebak dalam legalistik formal.

“Di internal MK sendiri ternyata tidak semua hakim setuju akan keputusan ini, bahkan ketua MK tidak setuju atas penghapusan Kemendagri dalam pembatalan Perda Kab/Kota dan Provinsi,” kata Agus di Gedung Permata, Jakarta, (20/6/2017).

Agung mengungkapkan putusan ini tidak mengikat secara komprehensif. Artinya, MK tidak mempertimbangkan seluruh aspek kepentingan. “Seharusnya MK tidak hanya melihat dari sisi hukum positifnya, tetapi juga melihat dari aspek ekonominya,” ujar Agung. (Baca juga: MK Juga ‘Pangkas’ Wewenang Kemendagri Batalkan Perda Provinsi)

Dia menjelaskan selama ini yang berlaku untuk mekanisme pengawasan perda. Pertama, legislative review dilakukan oleh DPRD setempat (bersama pemerintah daerah). Kedua, executive review dilakukan oleh gubernur dan pemerintahan pusat. Ketiga, judicial review yang dilakukan lembaga peradilan (Mahkamah Agung).

“Nah, sekarang dengan putusan ini kewenangan pemerintah sebagai pengawasan eksekutif menjadi hilang. Ini menjadi problem besar bagi dunia usaha dan pemerintah daerah dan pusat,” ujarnya.

Dia menilai putusan MK ini akan berdampak pada aktivitas perekonomian Indonesia. Nantinya, perekonomian Indonesia tidak lagi dalam aktivitas berskala nasional, tetapi terpotong-potong dalam skala Kabupaten/Kota. “Sehingga kesatuan wilayah ekonomi Indonesia menjadi terpenggal-penggal,” lanjutnya.

Ada beberapa catatan KPPOD terkait implikasi adanya Putusan MK ini. Pertama, penghapusan pengawasan pemerintah pusat atas perda (ex-post). Kedua, menghambat policy delivery dari pusat ke daerah (Paket Kebijakan, Deregulasi dan Debirokkratisasi). Ketiga, menghapus sistem check and balance terhadap pengawasan Perda. Keempat, menempatkan masyarakat, kelompok dan sektor privat sebagai pihak yang secara vis-à-vis berhadapan/berkonflik dengan pemda.

Dalam kesempatan yang sama, peneliti KPPOD M. Yudha Prawira menjelaskan KPPOD akan mengambil peran pasca keluarnya putusan MK ini dengan melakukan advokasi kebijakan yang diambil dari hasil penelitian. Yakni, melakukan pendampingan ke Pemerintah Daerah dalam hal analisis kebijakan dan pendampingan ke Pemerintah Pusat dalam hal pengawasan Perkada, Ranperda dan Kebijakan, serta pendampingan ke Asosiasi Pengusaha.

“Pendampingan yang akan dilakukan KPPOD sendiri disebabkan, kesalahpahaman Pemda dalam menafsirkan regulasi nasional, belum optimalnya diseminasi dan pemahaman pemda akan perubahan di tingkat nasional,” ujar M. Yudha.

Yudha berpendapat regulasi pusat masih belum optimal (kualitas pengaturan, tumpang tindih dan inkonsistensi) dalam memberikan kepastian hukum dan kerangka kebijakan yang jelas terkait kemudahan berusaha. “Monitoring dan pengawasan pemerintah pusat atas perda-perda bermasalah masih belum maksimal,” tegasnya.

Dalam hal pembatalan regulasi tahun 2016 lalu, Agung melanjutkan sebanyak 3.000-an regulasi (perda) sudah dibatalkan, tetapi Surat Keputusanya (SK) belum dikeluarkan. “Seharusnya pemerintah pusat sudah menerbitkan SK-nya, tapi faktanya dalam penerbitan SK-nya masih sangat sedikit,” katanya.

Semakin berat
Agung melanjutkan beban tanggung jawab MA akan semakin berat karena perkara uji materi perda-perda diperkirakan akan semakin besar jumlahnya. “Tumpukan perkara MA sendiri sudah banyak luar biasa, terlebih lagi jika nanti harus me-review kapasitas perda setiap kabupaten/kota dan provinsi. Ini membutuhkan jam terbang yang tinggi, MA tentu akan belajar lama untuk menyelesaikan perkara ini,” ungkapnya.

Agung menyarankan MA memperkuat dan meningkatkan kapasitas para hakim agung dalam penanganan uji materi terhadap Perda. Selain itu, MA harus merevisi hukum acara uji materi yang berlaku saat ini khususnya mengenai daya eksekusi dan MA harus meningkatkan pelayanan permohonan uji materi yang baik.

Selain itu, pemerintah pusat melalui Kemendagri juga harus memperkuat fungsi pengawasan Rancangan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) kabupaten/kota dan provinsi yang masih dalam lingkup kewenangan pemerintah pusat (executive review). “Kita juga berharap ada peran aktif masyarakat dan asosiasi untuk mengawal pembatalan perda dan pembahasanan rancangan perda.” Baca Juga: MK Tegaskan Mendagri Masih Boleh Batalkan Perda Provinsi
Tags:

Berita Terkait