KPPU Sebut Bisa Batalkan Merger Bila RUU Persaingan Usaha Tak Kunjung Disahkan
Berita

KPPU Sebut Bisa Batalkan Merger Bila RUU Persaingan Usaha Tak Kunjung Disahkan

KPPU masih sangat berharap amandemen terjadi di detik-detik terakhir sebelum masa tugas DPR Periode ini.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Diskusi forum jurnalis KPPU. Foto: HMQ
Diskusi forum jurnalis KPPU. Foto: HMQ

Revisi Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memang sudah masuk dalam jajaran Prolegnas periode 2015-2019. Bahkan, RUU ini berada pada urutan keempat  Prolegnas Prioritas tahun 2019 setelah RUU Pertanahan, RUU Jabatan Hakim dan RUU Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.

 

Untuk mengupayakan adanya reformasi terhadap RUU yang sudah berlaku sejak tahun 1999 itu, Juru bicara KPPU Guntur Saragih mengatakan pihaknya (KPPU) telah banyak mengadakan diskusi dan kajian, bahkan telah kerap dimintai pendapat oleh pemerintah dan DPR terkait substansi RUU.

 

Selebihnya, katanya, terkait pengesahan diserahkan kepada kepada pemerintah maupun DPR. Yang jelas KPPU tentu berharap sangat besar agar RUU ini disetujui menjadi undang-undang.Namun, melihat akan habisnya masa jabatan DPR periode ini, Guntur  mengakui bahwa RUU tersebut bisa terancam batal disetujui menjadi undang-undang.

 

“Poinnya KPPU masih sangat berharap amandemen terjadi di detik-detik terakhir sebelum masa tugas DPR Periode ini,” katanya, Jumat (20/9).

 

Di antara muatan yang santer diupayakan KPPU adalah diubahnya rezim notifikasi merger dari mandatory post notifikasi menjadi pre-notifikasi. Komisioner KPPU Dini Melanie menjelaskan dalam amandemen RUU Persaingan Usaha, sudah dimasukkan muatan pasal yang akan mengganti rezim notifikasi merger menjadi mandatory pre-notifikasi.

 

Untuk diketahui, post notifikasi merger mewajibkan pemberitahuan kepada KPPU paling lambat 30 hari setelah proses transaksi merger selesai dilakukan. Bila terlambat, pelaku usaha akan dikenakan denda Rp 1 miliar perhari dengan nilai denda maksimal Rp25 miliar. Konsekuensi penerapan post notifikasi ini, bila hasil merger mengakibatkan meningkat begitu besarnya konsentrasi pasar, maka KPPU bisa memberikan persyaratan tertentu untuk dipatuhi dan diubah pelaku usaha (remedies) atau bahkan bisa saja membatalkan transaksi merger.

 

(Baca: Ini Pokok Perubahan di Perma Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Putusan KPPU)

 

Selama ini, Dini mengkonfirmasi bahwa KPPU belum pernah menerapkan pembatalan transaksi merger. Sekalipun merger pasca notifikasi terbukti meningkatkan posisi dominan, KPPU selama ini masih melakukan usaha proaktif kepada pelaku usaha dengan memberikan remedies. Hal itu dilakukan lantaran KPPU disebutnya memang tak pernah ingin mematikan pelaku usaha, mengingat tujuan dibentuknya KPPU adalah mengawasi, bukan mematikan.

 

“Memang pembatalan belum pernah dilakukan,” tegasnya.

 

Dengan adanya persaingan, katanya, diharapkan perusahaan kecil bisa jadi menengah, menengah menjadi besar dan usaha besar bisa menjangkau banyak pasar internasional. Akan tetapi, system post notifikasi ini dinilainya bisa mengakibatkan dibiarkannya konsentrasi pasar yang begitu tinggi dan pada akhirnya merusak persaingan itu sendiri.

 

“Kalau sampai Oktober ini DPR belum juga mengesahkan amandemen UU kita, maka terpaksa KPPU galak, kalau ternyata ditemukan dugaan pelanggaran merger dan akuisisi pada post notifikasi, bisa jadi kita batalkan mergernya,” kata Dini.

 

Karena sistemya post notifikasi, katanya, KPPU jelas punya kewenangan untuk membatalkan merger. Kebanyakan rezim pengawasan di dunia, katanya, mayoritas sudah beralih ke system pra-notifikasi. Sehingga notifikasi wajib dilakukan kepada otoritas pengawas sebelum merger dilakukan. Otomatis, otoritas bisa menilai apakah diperbolehkan atau tidak suatu merger dilanjutkan.

 

“Mayoritas rezim pengawasan persaingan usaha di dunia menggunakan pre-notifikasi. Jadi sebelum merger mereka minta izin dulu, boleh atau engga lakukan merger? Sehingga lahirnya konsentrasi pasar yang tinggi akibat aktivitas merger dapat dihindari sejak awal,” ujarnya.

 

Yang perlu diingat, kata Dini, membatalkan suatu perjanjian tentu ada konsekuensi ekonomisnya. Pelaku usaha yang sudah investasi kemudian dibatalkan akan menimbulkan banyak efek, seperti mungkin dia harus bayar ke pihak ketiga karena sudah ada komitmen sebelumnya.

 

Pembatalan transaksi merger disebut Dini sebetulnya sudah merupakan jenis hukuman yang berat bagi pelaku usaha. Tapi sanksi atas pelanggaran harus tetap ditegakkan. Untuk itu perubahan rezim menjadi pre-notifikasi menjadi perlu dilakukan.

 

“Padahal, tinggal diketok saja RUUnya, karena sudah masuk Prolegnas Prioritas 2019 dan sudah final dilakukan pembahasannya,” katanya.

 

Sebelumnya, dalam sebuah wawancara dengan Hukumonline, Ketua Komisioner KPPU, Kurnia Toha menyebut Thailand yang dulunya menganut post-merger notification layaknya Indonesia, sekarang sudah tidak lagi. Hampir semua negara disebutnya sudah menerapkan post notifikasi.

 

“Kami ingin pelaporan dilakukan duluan sebelum kegiatan merger. Karena kalau KPPU temukan merger tersebut melanggar persaingan usaha bisa kami bubarkan. Apa mau pelaku usaha take a risk itu?” jelasnya.

 

Tags:

Berita Terkait