KPU Butuh Kepastian Hukum Pilkada Serentak
Berita

KPU Butuh Kepastian Hukum Pilkada Serentak

KPU ingin mengeluarkan kebijakan progresif. Tapi tetap butuh paying hukum.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
KPU Butuh Kepastian Hukum Pilkada Serentak
Hukumonline
Sampai saat ini DPR dan Pemerintah masih membahas RUU Pilkada. RUU yang dibahas sejak pertengahan 2012 itu akan berfungsi sebagai instrumen hukum untuk menggelar Pilkada serentak yang direncanakan dimulai 2015. Tanpa paying hukum itu, sulit bagi Komisi Pemilihan Umum menjalankan kebijakan.

Ketua Komisi Pemilihan Umum, Husni Kamil Manik, menyebut lembaga yang dipimpinnya menantikan pengesahan RUU Pilkada. Pengesahan penting karena menyangkut proses persiapan pelaksanaan Pilkada. “Kami membutuhkan kepastian terhadap regulasinya (UU Pilkada,-red),” katanya dalam diskusi yang digelar Perludem di Jakarta, Kamis (28/8).

Husni menjelaskan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tidak lengkap mengatur tahapan Pilkada seperti pemungutan suara dan rekapitulasi hasil perolehan suara. Untuk menghindari sengketa seperti yang terjadi pada Pilpres 2014, Husni menekankan peraturan perundang-undangan tentang Pilkada harus mengatur secara lengkap dan jelas. Sehingga, KPU punya landasan hukum yang pasti dalam menerbitkan kebijakan.

Dalam melaksanakan Pilkada, Husni mengatakan KPU sudah mendelegasikan kewenangan kepada KPU daerah untuk membuat regulasi teknis Pilkada. Pertengahan bulan ini KPU akan melakukan supervisi kepada 247 daerah guna mempersiapkan penyelenggaraan Pilkada. KPU juga telah menginstruksikan kepada jajarannya di daerah untuk membuat draft anggaran pelaksanaan Pilkada. Sejalan hal tersebut ia berharap agar pengalokasian anggaran untuk Pilkada lewat APBN dilakukan tepat waktu, sehingga tidak menghambat pelaksanaan Pilkada.

Untuk melaksanakan Pilkada, KPU akan melakukan supervisi hingga penyelenggara pemilu di daerah. Terutama untuk meminimalisasi pemecatan terhadap petugas KPU karena dinilai melanggar etik oleh DKPP. Juga perlu dilakukan pembenahan pada tahap pencalonan, berkaitan dengan dukungan partai politik (parpol) oleh pengurus yang diakui.

Daftar pemilih juga menjadi perhatian KPU. Husni mengatakan dalam UU No. 32 Tahun 2004, sumber data pemilih dalam Pilkada berasal dari pemerintah daerah (pemda). Ke depan, ia berharap sumber data itu berasal dari hasil kerjasama antara KPU dan Kemendagri.

Ketua Panja RUU Pilkada, Abdul Hakam Naja, mengatakan DPR sepakat untuk segera menuntaskan RUU Pilkada. Menurutnya, isu yang masih diperdebatkan dengan pemerintah hanya soal pemilihan Wakil Walikota dan Bupati. Pemerintah menginginkan wakil Walikota dan Bupati dipilih dari kalangan PNS. Sedangkan DPR menginginkan Walikota dan Bupati beserta wakilnya dipilih langsung seperti Pilkada saat ini. “Saya yakin (pembahasan RUU Pilkada,-red) ini tidak memakan waktu lama,” ujarnya.

Peneliti LIPI, Syamsuddin Haris, tidak sepakat Pilkada serentak dilaksanakan tahun depan. Sebab, masih ada perdebatan yang belum selesai dalam pembahasan RUU Pilkada. Menurutnya, DPR tidak perlu mengejar target untuk menyelesaikan RUU Pilkada. Pasalnya, yang penting dipikirkan adalah dampak jika UU yang masih diperdebatkan itu kemudian disahkan dan diimplementasikan.

“Saya berpendapat Pilkada serentak belum realistis untuk diadakan pada tahun 2015. Sebab masih ada isu yang diperdebatkan dalam RUU Pilkada, selain itu publik masih lelah dengan konflik dalam pemilu 2014,” papar dosen pasca sarjana FISIP Universitas Nasional itu.

Haris berpendapat idealnya Pilkada serentak dilaksanakan minimal dua setengah tahun setelah Pemilu serentak digelar. Jika MK telah memutus Pemilu serentak dilakukan pada 2019 maka Pilkada serentak bisa dilakukan sekitar tahun 2021. Sebab, perlu dilakukan evaluasi terhadap pemerintahan terpilih yang memenangkan Pemilu serentak 2019. Sehingga, masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya secara rasional pada Pilkada. Jika pemerintahan hasil Pemilu 2019 itu buruk, maka parpol pengusungnya tidak akan dipilih lagi dalam Pilkada.

Atas dasar itu Haris menilai pelaksanaan Pilkada serentak jangan sekedar dilihat dari konteks efisiensi APBN atau APBD. Tapi harus dikaitkan dengan penguatan sistem politik yang digunakan yaitu Presidensil.
Tags:

Berita Terkait