Minimalisasi Multitafsir dalam Perkara Pemilu
Sengketa Pilpres 2014

Minimalisasi Multitafsir dalam Perkara Pemilu

Kodifikasi peraturan perundang-undangan pemilu penting dilakukan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Ketua Bawaslu, Muhammad. Foto: RES
Ketua Bawaslu, Muhammad. Foto: RES
Dua sidang penyelesaian sengketa pemilu usai sudah. Sidang dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan sidang Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi. Putusan kedua lembaga ternyata tidak sinkron seratus persen. Minimal begitulah kesan yang muncul di mata publik.

Contohnya menyangkut pembukaan kotak suara oleh penyelenggara pemilu. DKPP menyatakan ada pelanggaran kode etik, sebaliknya MK tak menganggapnya sebagai persoalan. Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad mengatakan perbedaan tafsir semacam ini harus dihindari di masa mendatang agar tak menimbulkan kebingungan.

Ketika masing-masing lembaga pemangku kepentingan pemilu menjalankan kewenangan, potensi perbedaan tafsir terbuka lebar. Semakin banyak lembaga yang terlibat semakin besar peluang beda tafsir dan beda perlakuan, meskipun nanti yang dipersoalkan fakta yang sama.

Bagi Muhammad, salah satu solusi mengurangi multitafsir itu adalah penyatuan penyelesaian sengketa pemilu pada peradilan khusus pemilu. Orang-orang yang punya kompetensi menangani masalah pemilu dan memutus perkara hukumnya berada di lembaga yang sama. “Ke depan harus ada satu lembaga khusus yang mengurus peradilan Pemilu,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Senin (25/8).

Multitafsir mengenai pemilu, kata Muhammad, dapat  menghambat penegakan hukum. Misalnya, ketika Pengawas Pemilu mendapat pengaduan tentang dugaan pelanggaran pidana Pemilu. Kemudian, Panwas menerbitkan rekomendasi kepada kepolisian. Sayangnya, rekomendasi itu tidak dilaksanakan sehingga perkara yang diadukan tak berlanjut. “Akhirnya pelanggaran pidana Pemilu mentok di kepolisian,” urainya.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Juri Ardiantoro, menyebut usulan membentuk satu lembaga peradilan Pemilu cukup menarik. Sebab, sebagai penyelenggara Pemilu, KPU dan jajarannya melaksanakan putusan hukum yang berkekuatan final dan mengikat. Untuk itu diperlukan lembaga peradilan yang tidak saling tumpang tindih dalam mengeluarkan putusan.

Atas dasar itu pasca Pemilu 2014, Juri menandaskan, KPU akan melaksanakan evaluasi secara menyeluruh mulai dari penyelenggaraan Pemilu sampai rekrutmen petugas. Evaluasi itu bakal melibatkan pihak-pihak yang punya informasi dan kompetensi. Sehingga hasil evaluasi menghasilkan rekomendasi agar Pemilu yang akan datang dapat digelar lebih baik. “Sekarang kami masih membahas hal-hal apa saja yang akan dievaluasi,” ujarnya.

Kodifikasi peraturan perundang-undangan pemilu menjadi langkah lain yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi multitafsir. Ketua Perludem, Didik Supriyanto, mencatat minimal ada enam Undang-Undang yang mengatur pemilihan umum. Mulai dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang perubahannya (UU No. 8 Tahun 2005), UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, hingga UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Didik berpendapat ketentuan yang terdapat dalam berbagai UU itu ada yang saling kontradiksi, tumpang tindih dan kekosongan hukum. Misalnya, soal daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) tidak diatur dalam UU Pilpres. Begitu pula dengan rekapitulasi penghitungan suara, di tingkat kelurahan (PPS) tidak ada, hanya ada di tingkat kecamatan atau (PPK). Akibatnya, hal-hal tersebut menjadi isu yang kerap disorot publik. Termasuk dalam perselisihan hasil Pemilu (PHPU) Pilpres 2014 di MK.

Bagi Didik, kelemahan yang ada dalam UU terkait Pemilu itu menyebabkan aturan Pemilu tidak komprehensif. Perbaikan pun tidak dapat dilakukan dengan merevisi setiap UU tersebut. Sebab, yang dibutuhkan adalah kodifikasi sehingga hanya ada satu UU tentang Pemilu. “Untuk menghilangkan bermacam persoalan itu saya usul UU terkait Pemilu itu dijadikan satu saja,” tukasnya.

Kodifikasi itu harus memperhatikan putusan MK No.14/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan legislatif (Pileg) digelar serentak pada 2019. Menurut Didik, Pilkada juga harus dikodifikasi dalam UU Pemilu. Sehingga penyelenggaraan Pemilu dapat dilaksanakan secara komprehensif.
Tags:

Berita Terkait