Kritisi ‘Roh’ UU Cipta Kerja, Dekan FH UGM Sarankan Perkuat Riset dan Teknologi
Berita

Kritisi ‘Roh’ UU Cipta Kerja, Dekan FH UGM Sarankan Perkuat Riset dan Teknologi

Arah kebijakan pembangunan ekonomi yang dibangun UU Cipta Kerja dinilai hanya bertumpu pada sumber daya alam, melonggarkan impor, dan masuknya paten dari luar negeri.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10) lalu. Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10) lalu. Foto: RES

Kritik terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terus disuarakan berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama kalangan akademisi. Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Sigit Rianto, mengatakan pihaknya sudah mencermati UU Cipta Kerja sejak berbentuk naskah akademik dan draft RUU. Baginya, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menerbitkan kebijakan yang memberi kemudahan berusaha, membuka lapangan kerja, dan mendorong pelaksanaan riset dan teknologi.

Melalui UU Cipta Kerja, Rianto menilai pemerintah sangat mendorong menggeliatnya sektor ekonomi dan mengandalkan peningkatan investasi, tapi mengorbankan banyak hal yang fundamental untuk rakyat Indonesia, seperti sektor lingkungan hidup, pertanahan, dan agraria. Hal ini terlihat dari substansi UU Cipta Kerja yang mengutamakan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam (SDA), melonggarkan impor, dan masuknya paten dari luar negeri.   

“Padahal yang dibutuhkan Indonesia saat ini agar menjadi negara maju yakni memperkuat riset dan teknologi, sehingga mampu bersaing di ranah global. UU Cipta Kerja tidak mendukung riset dan inovasi, malah terpinggirkan,” kata Prof Sigit Rianto dalam diskusi secara daring yang digelar BEM KM UGM, Selasa (24/11/2020). (Baca Juga: Pemerintah Rampungkan RPP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko)

Dia menilai dengan substansi UU Cipta Kerja yang compang-camping, apalagi ada redaksional yang cacat. Apakah yang masuk ke Indonesia nanti investor baik atau malah yang merusak? Seyogyanya hukum ditujukan untuk menjaga peradaban, menghindari kehancuran, kemerosotan, dan kerusakan. Meski begitu, Rianto mengingatkan investor dalam menjalankan bisnisnya harus menjunjung tinggi etika, seperti investor yang berinvestasi di negara maju.  

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Yudhistira Hendra Permana, mencatat ada salah konsepsi dalam perizinan berbasis risiko dalam UU Cipta Kerja. Beleid ini juga luput menyasar aspek kelembagaan. “UU Cipta Kerja jangan cuma ngomong soal investasi, tapi bagaimana unsur manusia dan lembaga?” ujarnya.

Mengenai pendekatan berbasis risiko atau risk base approach (RBA) yang diatur dalam UU Cipta Kerja, menurut Yudistira, untuk menjalankan konsep ini butuh banyak hal yang harus disiapkan, seperti data, penelusuran, dan pengawasan. Berbasis risiko ini dibagi menjadi rendah, menengah, dan tinggi. Dimana untuk usaha dengan tingkat risiko rendah hanya diwajibkan untuk mengurus nomor induk berusaha (NIB).

“Tapi ada yang janggal untuk risiko menengah karena yang diminta hanya sertifikat standar berdasarkan pernyataan pelaku usaha. Jika pengawasannya lemah, ini akan menimbulkan kecurangan atau fraud. Bisa saja pengusaha tidak mengakui bahwa usahanya itu sebenarnya tidak memenuhi standar.”

Tags:

Berita Terkait