Kronologis Kasus Bank Lippo versi Koalisi Masyarakat
Berita

Kronologis Kasus Bank Lippo versi Koalisi Masyarakat

Koalisi Masyarakat Anti Skandal Bank Lippo, beranggotakan lebih dari 16 orang dari berbagai profesi, telah menyusun kronologis kejadian runut yang menunjukkan adanya indikasi kerugian negara. Dari kronologis ini, tersirat pelanggaran terhadap sejumlah peraturan antara lain UU pasar Modal, UU Perbankan, dan UU Tindak Pidana Korupsi.

MYs
Bacaan 2 Menit
Kronologis Kasus Bank Lippo versi Koalisi  Masyarakat
Hukumonline

Dugaan penjarahan kekayaan negara yang diungkap analis Lin Che Wei dianggap sebagai kejahatan korporasi. Bayangkan, dana yang dulu disetor pemerintah senilai Rp6,05 triliun kini hanya dihargai Rp600 miliar. Terjadi penurunan nilai hingga 90 persen. Apakah itu bukan perbuatan menjarah uang negara? Itulah yang membuat Koalisi Masyarakat mengadu ke Kejaksaan Agung, Selasa lalu.

 

Untuk menjawab pertanyaan itu, tentu saja harus dilihat latar belakang munculnya kasus tersebut. Inilah runutan peristiwanya:

 

  • Pada 1998, sebelum rekapitalisasi perbankan, Bank Lippo (BL) diduga keras melakukan pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dengan memberikan pinjaman kepada perusahaan in-group.
  • Untuk menghindari jerat hukum, BL melakukan pengambilalihan jaminan aset dari para debitor agar tak masuk kategori pinjaman. Totalnya Rp2,4 triliun
  • Sekitar 70 % dari aset yang diambil alih (foreclosed asstes) merupakan properti, sisanya merupakan saham milik Lippo Group.
  • Secara formal, Lippo Group (LG) sudah menyerahkan aset-aset tersebut kepada BL. Tapi secara faktual,  LG masih menguasai pengelolaan BL, termasuk aset-aset yang dialihkan. Perlu dicatat bahwa LG diduga pernah menggunakan dana masyarakat untuk kepentingan kelompok dengan melanggar ketentuan BMPK. Maka, harus diteliti ulang tentang asal usul aset yang dialihkan (AYDA). Jika terbukti AYDA berasal dari LG, otomatis LG terbukti melanggar BMPK.
  • Pada 1998, BL masuk kategori program rekap. Berdasarkan program ini, Pemerintah akan menginjeksi maksimum 80 % kebutuhan dana baru, dan sisanya oleh pemilik lama. Pemerintah lewat BPPN telah menyuntikkan dana sebesar Rp6,05 triliun ke BL. Sementara pemegang saham lama (termasuk minoritas investor) sebesar Rp2,68 triliun.
  • Pada periode 1999-2002, manajemen BL dikelola ING Barings. Meski ada perbaikan, kontrol terhadap bank masih dijalankan keluarga Riady dan orang-orang kepercayaan mereka. Komisaris dari pemerintah dinilai gagal menjalankan fungsinya.
  • Pada 2000, LG berusaha membeli AYDA melalui Pasific Growth Recovery Fund  dengan cara pemberian potongan 20 % dan sisanya dicicil. Tetapi pada 2001, berkat kejelian BPPN, transaksi itu dibatalkan. Sebab, 40 % dari perusahaan itu ternyata dikuasai oleh LG.
  • Medio 2002, ING Barings tidak lagi terlibat dalam pengelolaan BL.
  • LG berusaha membujuk Pemerintah untuk menjual kepemilikan sahamnya (exercise put option). Alasan LG, harga wajar dari harga saham BL adalah Rp 39 (setara Rp 390 sesudah reverse stock). Pemerintah menolak karena mestinya harga yang harus dibayar LG sesuai perjanjian awal IMPA.
  • Pada saat bersamaan, BL menyatakan adanya perubahan laporan keuangan triwulan ketiga tahun 2002 dimana terjadi penurunan aset Rp1,372 triliun, dan bank harus memberikan provisi tambahan senilai Rp1,4 triliun. Artinya kerugian bank mencapai Rp1,4 triliun. BL menyatakan bahwa laporan keuangan itu sudah "audited", padahal sebenarnya belum. Lippo berdalih nilai aset tersebut merupakan nilai wajar AYDA per September 2002.
  • Selama 4 November 2002-10 Januari 2003, telah terjadi manipulasi saham BL secara tidak wajar. Indikasi pelanggaran terlihat dalam transaksi sebesar satu dab dua lot hanya satu menit menjelang penutupan pasar. Transaksi ini dilakukan  kontiniu selama 40 hari. Setelah harga saham Lippo jatuh, Ciptadana Sekuritas (milik LG) membeli secara besar-besaran saham yang harganya telah jatuh tersebut. pembelian oleh Ciptadana Sekuritas terhenti setelah munculnya tulisan Lin Che Wei di harian Kompas  14 Februari 2003.
  • Selain melanggar pasal 92 UU Pasar Modal, hal itu juga membuktikan bahwa penurunan nilai aset BL dipakai semata-mata sebagai dasar menurunkan nilai buku saham dan menjustifikasi right issue yang mendilusi kepemilikan mayoritas di BL. Nyatanya, nilai saham yang pernah disetorkan Pemerintah lebih dari Rp 6 triliun, kini tinggal Rp 600 miliar. Berarti terjadi penurunan sebesar Rp 90 persen.
  • Pada November 2002, dalam usaha menjatuhkan nilai buku, BL kembali menyajikan hasil laporan triwulan III 2002.
  • Pada saat bersamaan, mereka mengadakan RUPSLB untuk minta persetujuan penjualan aset. Celakanya, komisaris dari pemerintah dan BPPN mengizinkan terjadinya penjualan aset tersebut.
  • Akhir tahun 2002, Lippo mengiklankan penjualan aset itu di koran kecil. Timing pendaftaran dibuat sedemikian rupa dengan maksud adara aset tersebut jatuh kepada pihak tertentu. OC BPPN minta penjualan itu dibatalkan. Nilai penawaran yang rensah terhadap aset properti dijadikan acuan untuk menjustifikasi kebutuhan provisi senilai Rp1,4 triliun. Proses tender pun dinilai melanggar aturan.
  • Hal ini juga dipakai sebagai acuan untuk melakukan right issue. Disinyalir BPPN dan komisaris wakil Pemerintah di BL telah memberikan persetujuan prinsip.
  • Dalam public expose BL 11 Februari 2003, manajemen BL kembali melakukan kesalahan fatal dengan memberikan misleading information di depan publik. Mereka masih mencoba menyembunyikan fakta tentang asal usul AYDA.

 

Tags: