KSPI Minta Pemerintah Cabut UU Cipta Kerja dan Peraturan Turunannya
Terbaru

KSPI Minta Pemerintah Cabut UU Cipta Kerja dan Peraturan Turunannya

Karena substansi UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dinyatakan sudah kehilangan objek hukumnya, sehingga dianggap tidak berlaku lagi hingga diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Putusan MK terkait pengujian UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terus menuai perdebatan publik. MK telah mengabulkan sebagian gugatan permohonan uji formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 menyatakan antara lain UU No.11 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam, waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.”

Putusan itu menyatakan UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku sampai dilakukan perbaikan sebagaimana jangka waktu yang diberikan tersebut. MK juga menangguhkan semua kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020.

Presiden Joko Widodo telah merespon putusan tersebut dan memerintahkan jajarannya untuk segera membenahi UU No.11 Tahun 2020 sesuai amar putusan MK. Dia juga menegaskan beleid tersebut termasuk peraturan pelaksananya tetap berlaku guna memberi kepastian kepada pelaku usaha dan investor.

“Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang diberikan waktu paling lama dua tahun untuk melakukan revisi atau perbaikan-perbaikan. Saya telah memerintahkan kepada para menko dan para menteri terkait untuk segera menindaklanjuti putusan MK itu secepat-cepatnya,” ujar kata Jokowi belum lama ini sebagaimana dikutip laman setkab.go.id, Senin (29/11/2021) lalu.

Sementara itu, Presiden KSPI, Said Iqbal menilai justru pemerintah tidak mematuhi putusan MK. Padahal jelas putusan itu menyatakan UU No.11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat. Pengertiannya beleid tersebut inkonstitusional sampai dipenuhinya berbagai persyaratan sebagaimana putusan MK. Perbaikan UU No.11 Tahun 2020 yang diperintahkan MK terkait aspek formil karena materiil atau substansinya sudah kehilangan objek hukum, sehingga tidak berlaku lagi.

“Memang benar poin 4 amar putusan MK menyatakan UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku, tapi poin 5-7 menetapkan syarat yang harus dipenuhi antara lain diperbaiki prosedurnya,” kata Iqbal dalam pers rilis secara daring, Jumat (3/12/2021) kemarin. (Baca Juga: Akademisi Ini Sarankan Pemerintah Tidak Perlu Revisi UU Pembentukan Peraturan)

Iqbal menegaskan poin 7 amar putusan MK menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020. “Jadi menurut kami peraturan yang ada (peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020, red) tidak boleh digunakan sampai dipenuhinya syarat dalam putusan MK itu,” ujarnya.

Karena itu, KSPI menuntut pemerintah dan DPR segera menjalankan putusan MK tersebut dengan mencabut UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya. KSPI bersama serikat buruh lainnya akan melakukan demonstrasi di setiap provinsi, dan kabupaten/kota pada 6-10 Desember 2021. Khusus 7 Desember 2021 demonstrasi akan berpusat di Istana Kepresidenan Jakarta, gedung MK, dan Balai Kota DKI Jakarta.

Selain itu, Iqbal menyebut KSPI akan melakukan kampanye baik nasional dan internasional. Sampai saat ini KSPI telah melayangkan surat kepada sejumlah serikat buruh internasional dan organisasi perburuhan PBB (ILO) terkait putusan MK tersebut dan perbedaan pandangan pemerintah dan serikat buruh terhadap putusan itu.

“Kami juga berencana melakukan langkah hukum dengan menggugat 34 SK Gubernur terkait penertapan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK),” katanya.

Sebelumnya, Ahli Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, menilai putusan MK itu sebagian jelas dan sebagian lain tidak. Beberapa hal yang jelas dalam putusan tersebut antara lain menyatakan pembentuk UU dinilai ugal-ugalan dan melanggar asas dan tujuan, partisipasi, naskah akademik, serta tidak mengikuti standar, dan metode baku pembentukan UU.

“Parahnya lagi beberapa norma berubah dan berganti tanpa persetujuan,” kata Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi secara daring bertema “Babak Baru UU Cipta Kerja”, Senin (29/11/2021) lalu. (Baca Juga: Ahli Usulkan 4 Tahap Setelah Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja)

Untuk substansi putusan yang tidak jelas, Zainal menerangkan beberapa hal, misalnya apakah UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku atau tidak? Mengacu poin 4 amar putusan MK menyebut UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku sampai dilakukan perbaikan sesuai tenggang waktu yang telah ditentukan yakni 2 tahun. Jika dalam waktu 2 tahun itu tidak dilakukan perbaikan, maka UU No.11 Tahun 2020 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Poin 4 amar putusan itu seharusnya diartikan UU Cipta Kerja ditangguhkan secara keseluruhan sampai dilakukan perbaikan,” kritiknya.

Kemudian poin 7 amar putusan MK menyatakan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020. Jika dikaitkan dengan poin 4, maka UU Cipta Kerja masih berlaku hanya untuk substansi yang sifatnya tidak strategis dan tidak berdampak luas.

“Untuk substansi UU No.11 Tahun 2020 yang bersifat strategis dan berdampak luas ditangguhkan,” kata dia.

Persoalannya, lanjutnya, MK tidak memberikan batasan mana yang termasuk kebijakan strategis dan berdampak luas. Kemudian bagaimana dengan peraturan turunan UU Cipta Kerja yang telah terbit apakah ikut ditangguhkan jika sifatnya strategis dan berdampak luas? Dia memberi contoh PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dimana salah satu pasalnya menyebut kebijakan pengupahan bersifat strategis dan berdampak luas.

“Saya yakin (semua, red) PP dibuat karena bersifat strategis dan berdampak luas,” ujarnya.

Zainal melihat MK menyatakan permohonan uji materil tidak dapat diterima dengan alasan pengujian formil dikabulkan sebagian. Artinya, MK menekankan uji formil ini berdampak pada materil. Karena itu, tidak tepat jika putusan ini diterjemahkan hanya untuk membenahi sisi formil UU No.11 Tahun 2020 saja. “Jangan sampai nanti yang dibenahi hanya formilnya saja dengan merevisi UU No.15 Tahun 2019,” katanya.

Tags:

Berita Terkait