Kultur Polisi di Tengah Bingkai Reformasi dan Hasil Riset
Fokus

Kultur Polisi di Tengah Bingkai Reformasi dan Hasil Riset

Sejumlah jajak pendapat dan hasil penelitian menunjukkan reformasi polisi belum berhasil seperti yang diharapkan. Butuh perubahan pola pikir dan budaya.

Mys/M-10
Bacaan 2 Menit

 

Survei Integritas Publik 2010 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menemukan hasil serupa. Mengambil sampel di 353 unit layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, 6 instansi vertikal, dan 22 pemerintah kota, jajak pendapat KPK menemukan bahwa pelayanan di kepolisian – dan Kementerian Hukum dan HAM—masih buruk. Layanan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dianggap layanan kepolisian yang rentan korupsi. Jika mendapat skors rendah, berarti pemberian layanan publik masih diwarnai korupsi. “Suap menyuap kecil-kecilan,” kata komisioner KPK, M. Jasin, saat merilis hasil survei itu 1 November lalu.

 

Komisi Hukum Nasional (KHN) juga melakukan penelitian khusus dalam bentuk “Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Reformasi Kepolisian”. KHN menyimpulkan reformasi kepolisian yang sudah berlangsung sejak 1999 belum dirasakan secara signifikan oleh masyarakat. Laporan pengaduan yang diteliti KHN menunjukkan layanan bagian reserse paling banyak dikeluhkan masyarakat. Mengambil metode penelitian yuridis empiris, KHN juga menyimpulkan kepolisian mengalami krisis kepemimpinan. Sulit mencari pemimpin kepolisian yang mumpuni.

 

Toh, tak semua hasil penelitian atau jajak pendapat memberi persepsi buruk terhadap kepolisian. Riset yang dilakukan Markplus Insight dengan melibatkan 1.800 orang dari lingkungan 14 Polda menyimpulkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan Polri sudah mencapai 54,33 persen. Layanan reserse dan divisi lalu lintas memang memiliki prosentase lebih rendah dibanding pelayanan bidang samapta dan regident.

 

Tengok pula hasil penelitian yang dilakukan Staf Ahli Kapolri bekerjasama dengan Biro Litbang dan Mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 17 – 22 Januari 2010. Dengan responden sebanyak 10.400 orang yang tersebar di wilayah 9 Polda, riset tersebut menunjukkan persepsi positif masyarakat terhadap layanan polisi. Nilai rata-rata transparansi pelayanan Polri kepada masyarakat sudah mencapai 57,11 persen. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan Polri malah sudah mencapai 66,58 persen. Pelayanan reserse kriminal dan lalu lintas lagi-lagi mendapat skor terendah dibanding Intelkam, Samapta, dan Sumber Daya Manusia (SDM).

 

Grand Strategy

Berbicara dalam diskusi KHN, mantan Inspektur Jenderal (Irjen) Mabes Polri, Ahwil Lutan, tak menampik beragamnya pandangan masyarakat terhadap reformasi. Menurut dia, ekspektasi masyarakat begitu besar terhadap hasil reformasi kepolisian. Sementara kepolisian menginginkan reformasi berjalan gradual dan bertahap. Akibatnya, ada gap antara ekspektasi dengan pelaksanaan di lapangan.

 

Reformasi Polri tetap merujuk pada Grand Strategy 2005-2025. Pada lima tahun pertama, Polri berusaha melakukan berbagai hal untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat (trust building). Periode 2011-2015 Polri menekankan pada kerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka penegakan hukum, ketertiban, serta pelayanan, perlindungan, dan pengayoman untuk menciptakan rasa aman. Barulah pada periode ketiga, 2016-2025 Polri membangun pelayanan publik yang prima.

 

Reformasi jangka panjang bukan saja bertujuan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Menurut Ahwil Lutan, reformasi ke dalam institusi kepolisian berusaha melahirkan polisi yang profesional, bermoral, modern, dan dipercaya masyarakat.

Tags: