Lawyer Harus Mampu Beradaptasi dengan Teknologi Agar Bisa Survive
Berita

Lawyer Harus Mampu Beradaptasi dengan Teknologi Agar Bisa Survive

Perkembangan teknologi finansial adalah hal yang nyata atau fenomena yang terjadi akibat adanya digitalisasi. Bila lawyer ingin survive (bertahan) maka sudah sepatutnya mendalami yang namanya hukum digital finansial.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

Berdasarkan paparannya, Sylvia merinci regulasi-regulasi layanan fintech sesuai jenisnya. Regulasi fintech p2p mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.77/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi. Lalu, ada juga Surat Edaran (SE) OJK No.18/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Kemudian, IKD mengacu pada POJK No.13/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Sebagai aturan turunannya, OJK juga menerbitkan SE No.20/2019 tentang Mekanisme Pencatatan Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital, SE No.21/2019 tentang Regulatory Sandbox dan SE No.22/2019 tentang Penunjukan Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital. (Baca: Menanti Undang-undang Khusus Fintech Demi Melindungi Konsumen)

Sedangkan, layanan equity crowdfunding mengacu pada POJK No.37/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding). Equity crowdfunding adalah penyelenggaraan layanan penawaran saham yang dilakukan oleh penerbit untuk menjual saham secara langsung kepada pemodal melalui jaringan sistem elektronik yang bersifat terbuka. Singkatnya, praktik bisnis ini sama dengan saat perusahaan sedang mencari pendanaan publik melalui penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Selain regulasi-regulasi tersebut, terdapat perundang-undangan lain yang harus dipatuhi antara lain UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2016, PP No.71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, POJK No.18 Tahun 2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan dan Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara Bertanggung Jawab–Asosiasi FinTech Pendanaan Bersama Indonesia (Code of Conduct).

Sylvia menjelaskan dari sisi pelaku usaha dapat mengetahui jenis perizinan usaha saat mendirikan perusahaan fintech. “Sebagai konsultan, saya meminta untuk tetapkan dulu fintech-nya jenis apa? Apakah di situ ada unsur inovasinya, teknologi informasi seperti apa? Kalau semata-semata jual satu produk asuransi dan tidak ada nilai tambah maka tidak masuk IKD,” jelasnya.

Selain regulasi, terdapat aspek-aspek hukum lain yang harus dipahami pelaku usaha seperti ketenagakerjaan, sistem elektronik dan aspek transaksi. Dalam aspek ketenagakerjaan, pelaku usaha harus memiliki kualifikasi sumber daya manusia seperti kewajiban memiliki karyawan yang memiliki keahlian di bidang teknologi informasi. Pada aspek sistem elektronik juga harus mempunyai tata kelola sistem teknologi informasi, pusat data dan pusat pemulihan bencana, kerahasiaan data, rekam jejak audit, sistem pengamanan.

Kemudian, aspek transaksi yang perlu diperhatikan yaitu ruang lingkup usaha, batasan pelaksaaan kegiatan usaha, persyaratan pengguna dan pemilik dana atau investor, klausul-klausul minimum yang wajib dimuat dalam perjanjian kegiatan usaha fintech, perlindungan konsumen dan transparansi produk serta metode penawaran produk.

Sylvia juga menyoroti persoalan risiko konsumen fintech seperti kebocoran data pribadi dan penagihan kasar. Kemudian, dia juga mengatakan masih terdapat perusahaan fintech ilegal yang melakukan predatory lending. “Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai risiko penggunaan fintech ilegal hingga predatory lending,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait