Lawyer Harus Mampu Beradaptasi dengan Teknologi Agar Bisa Survive
Berita

Lawyer Harus Mampu Beradaptasi dengan Teknologi Agar Bisa Survive

Perkembangan teknologi finansial adalah hal yang nyata atau fenomena yang terjadi akibat adanya digitalisasi. Bila lawyer ingin survive (bertahan) maka sudah sepatutnya mendalami yang namanya hukum digital finansial.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Webinar HUT ke-20 Hukumonline bertema “Perkembangan Fintech di Indonesia dan Manfaatnya bagi Pelaku Usaha”, Selasa (14/7). Foto: RES
Webinar HUT ke-20 Hukumonline bertema “Perkembangan Fintech di Indonesia dan Manfaatnya bagi Pelaku Usaha”, Selasa (14/7). Foto: RES

Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital (IKD) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Triyono Gani, menyarankan agar profesi hukum seperti lawyer mampu beradaptasi dan memahami perkembangan teknologi, khususnya financial technology (fintech). Hal ini disampaikannya saat menjadi salah satu pembicara dalam acara Webinar HUT ke-20 Hukumonline bertema “Perkembangan Fintech di Indonesia dan Manfaatnya bagi Pelaku Usaha”, Selasa (14/7).     

“Jangan sampai rekan-rekan lawyer ini nasibnya seperti petugas jalan tol yang sebelumnya ada di pos untuk menerima pembayaran tol dari pengguna jalan tol, sekarang semuanya hilang karena diganti kartu e-money,” kata Gani.

Menurut Gani, perkembangan teknologi finansial adalah hal yang nyata atau fenomena yang terjadi akibat adanya digitalisasi. Dia berpendapat bila lawyer ingin survive (bertahan) maka sudah sepatutnya mendalami yang namanya hukum digital finansial. Sebaliknya, bila perkembangan tersebut tidak diikuti dan dipahami maka sulit bagi lawyer untuk bertahan.  

“Justru aspek digitalisasi ini yang perlu didalami oleh rekan-rekan yang bekerja di bidang hukum supaya bisa survive. Terus terang saja, isu terbesar di teknologi selain fintech adalah hukum,” katanya.

Gani mengatakan bahwa Covid-19 menciptakan krisis yang sangat hebat. Bukan hanya usaha besar, tapi usaha kecil juga terimbas. Meski demikian, kata Gani, Covid-19 bisa menjadi sebuah ‘berkah’ bagi industri fintech, di mana hal itu bisa dilihat dari jumlah transaksi yang meningkat.

“Beberapa pelaku usaha justru mengubah metodelogi bisnisnya menjadi bisnis digital,” ujar Gani.

Seperti diketahui, belakangan industri Fintech terus menjamur. Sebagai regulator, OJK membuat berbagai regulasi yang menjadi rambu bagi pelaku usaha fintech dan konsumen. Regulasi-regulasi itulah setidaknya yang perlu dipahami oleh lawyer, dan di sinilah sekiranya peran seorang lawyer terutama ketika memberikan konsultasi hukum kepada kliennya. (Baca: Mengenal Ragam Regulasi Jenis-jenis Fintech)

Dalam acara yang sama, Founding Partner Harvardy, Marieta & Mauren Attorneys at Law, Sylvia Mauren menjelaskan terdapat pengaturan yang berbeda-beda pada jenis layanan fintech. Beberapa produk fintech yang sudah banyak berkembang di Indonesia saat ini dan sudah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI atau Peer-to-Peer Lending), Inovasi Keuangan Digital (IKD), dan yang sedang mulai untuk dikembangkan adalah Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (equity crowdfunding).

Berdasarkan paparannya, Sylvia merinci regulasi-regulasi layanan fintech sesuai jenisnya. Regulasi fintech p2p mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.77/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi. Lalu, ada juga Surat Edaran (SE) OJK No.18/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Kemudian, IKD mengacu pada POJK No.13/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Sebagai aturan turunannya, OJK juga menerbitkan SE No.20/2019 tentang Mekanisme Pencatatan Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital, SE No.21/2019 tentang Regulatory Sandbox dan SE No.22/2019 tentang Penunjukan Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital. (Baca: Menanti Undang-undang Khusus Fintech Demi Melindungi Konsumen)

Sedangkan, layanan equity crowdfunding mengacu pada POJK No.37/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding). Equity crowdfunding adalah penyelenggaraan layanan penawaran saham yang dilakukan oleh penerbit untuk menjual saham secara langsung kepada pemodal melalui jaringan sistem elektronik yang bersifat terbuka. Singkatnya, praktik bisnis ini sama dengan saat perusahaan sedang mencari pendanaan publik melalui penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Selain regulasi-regulasi tersebut, terdapat perundang-undangan lain yang harus dipatuhi antara lain UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2016, PP No.71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, POJK No.18 Tahun 2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan dan Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara Bertanggung Jawab–Asosiasi FinTech Pendanaan Bersama Indonesia (Code of Conduct).

Sylvia menjelaskan dari sisi pelaku usaha dapat mengetahui jenis perizinan usaha saat mendirikan perusahaan fintech. “Sebagai konsultan, saya meminta untuk tetapkan dulu fintech-nya jenis apa? Apakah di situ ada unsur inovasinya, teknologi informasi seperti apa? Kalau semata-semata jual satu produk asuransi dan tidak ada nilai tambah maka tidak masuk IKD,” jelasnya.

Selain regulasi, terdapat aspek-aspek hukum lain yang harus dipahami pelaku usaha seperti ketenagakerjaan, sistem elektronik dan aspek transaksi. Dalam aspek ketenagakerjaan, pelaku usaha harus memiliki kualifikasi sumber daya manusia seperti kewajiban memiliki karyawan yang memiliki keahlian di bidang teknologi informasi. Pada aspek sistem elektronik juga harus mempunyai tata kelola sistem teknologi informasi, pusat data dan pusat pemulihan bencana, kerahasiaan data, rekam jejak audit, sistem pengamanan.

Kemudian, aspek transaksi yang perlu diperhatikan yaitu ruang lingkup usaha, batasan pelaksaaan kegiatan usaha, persyaratan pengguna dan pemilik dana atau investor, klausul-klausul minimum yang wajib dimuat dalam perjanjian kegiatan usaha fintech, perlindungan konsumen dan transparansi produk serta metode penawaran produk.

Sylvia juga menyoroti persoalan risiko konsumen fintech seperti kebocoran data pribadi dan penagihan kasar. Kemudian, dia juga mengatakan masih terdapat perusahaan fintech ilegal yang melakukan predatory lending. “Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai risiko penggunaan fintech ilegal hingga predatory lending,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait