LBH Jakarta: Perppu Cipta Kerja Bentuk Pengkhianatan terhadap Putusan MK
Terbaru

LBH Jakarta: Perppu Cipta Kerja Bentuk Pengkhianatan terhadap Putusan MK

Karena tidak ada keadaan genting yang memaksa untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja tersebut. Untuk itu, LBH Jakarta meminta Presiden RI segera mencabut Perppu No.2 Tahun 2022 dan atau DPR RI tidak menyetujui Perppu No.2 Tahun 2022.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi mengecam terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Direktur LBH Jakarta, Citra Referandum, mengatakan lembaganya mengecam terbitnya Perppu itu karena tidak dilatarbelakangi keadaan genting yang memaksa dalam menjalankan kehidupan bernegara serta merupakan bentuk pengkhianatan terhadap putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020.

LBH Jakarta sedikitnya memiliki 3 catatan atas Perppu yang terbit 30 Desember 2022 itu. Pertama, Perppu diterbitkan tidak dalam kegentingan yang memaksa. Mengutip pendapat Prof Bagir Manan, Citra menyebut ada beberapa kriteria “kegentingan yang memaksa” sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD NKRI Tahun 1945. Antara lain ada krisis dimana disebut krisis apabila terdapat suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbance).

Ciri lainnya yakni kemendesakan yang dapat terjadi bila berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dulu. “Penerbitan Perppu seharusnya tidak menjadi alat kekuasaan Presiden semata, walaupun merupakan kekuasaan absolut yang dibenarkan konstitusi (constitutional dictatorship). Penerbitan Perppu harus menjadi wewenang bersyarat bukan wewenang yang secara hukum umum melekat pada Presiden,” kata Citra Referandum dikonfirmasi, Senin (2/1/2023).

Baca Juga:

Alasan pemerintah menerbitkan Perppu karena dampak perang Rusia-Ukraina menurut Citra jauh dari keadaan bahaya baik secara kedekatan teritorial dan ekonomi-politik. Sarat akan kepentingan pengusaha dan proses pembentukan UU masih dapat dilaksanakan secara biasa atau normal sebagaimana yang ditentukan Pasal 22 UUD NKRI Tahun 1945 dan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009.

Citra menekankan perlu adanya penjelasan secara ilmiah (scientific) dengan menggunakan berbagai medium pemerintah secara partisipatif yang meluas menyentuh setiap lapisan masyarakat bila ada gejala akan menghadapi situasi genting dan memaksa. Artinya, tidak menjadi tafsir subjektif Presiden RI dan Kabinet Pemerintahannya saja.

Ketiga, sebagai Perwakilan Konstituen Citra mengingatkan DPR untuk mendengar dan bersikap memihak kepada rakyat. DPR bisa memberi keputusan untuk setuju atau tidak terhadap Perppu. Pasal 22 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengatur “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”. Artinya, DPR harus betul-betul mendengar dan mempertimbangkan suara masyarakat atas terbitnya Perppu sebagai pemegang mandat para konstituen.

Citra mengusulkan DPR untuk tidak menyetujui Perppu tersebut sebagai bentuk perimbangan kekuasaan (checks and balances) dan koreksi secara politis. Hal itu penting demi mencegah keberlanjutan tindakan inkonstitusional yakni membenarkan penerbitan Perppu sebagai tindak lanjut Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dan solusi atas adanya kegentingan yang memaksa yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.

Keempat, keterbukaan dan pendokumentasian pembentukan peraturan perundang-undangan yang buruk. Citra menyebut MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena minimnya partisipasi publik bermakna dalam proses pembentukannya. Terbitnya Perppu menunjukkan Presiden RI mengabaikan putusan MK dan melanjutkan praktik buruk legislasi.

Untuk itu, Citra mendesak untuk dilakukan 4 hal. Pertama, Presiden RI segera mencabut Perppu No.2 Tahun 2022. Kedua, DPR RI tidak menyetujui Perppu No.2 Tahun 2022. Ketiga, Presiden dan DPR harus menghentikan segala bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Keempat, Presiden dan DPR perlu menghentikan praktik buruk legislasi dan mengembalikan semua proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai prinsip-prinsip konstitusi negara hukum yang demokratis dan HAM.

Tags:

Berita Terkait