Legislator Soroti Kebijakan Pemerintah Soal Impor Kedelai
Berita

Legislator Soroti Kebijakan Pemerintah Soal Impor Kedelai

Kenaikan harga pangan tahu dan tempe akibat tingginya harga bahan baku kedelai yang diperkirakan mencapai 50 persen dari kondisi normal.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Masyarakat semakin terbebani akibat kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok akibat pandemi Covid-19. Salah satu harga kebutuhan pokok yang harganya naik tajam tersebut, yaitu tahu dan tempe. Kenaikan ini akibat tingginya harga bahan baku kedelai yang diperkirakan mencapai 50 persen dari kondisi normal. Terlebih lagi, Indonesia mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri.

Persoalan tersebut mendapat sorotan dari berbagai pihak terhadap kebijakan perdagangan pemerintah.  Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina mengatakan lonjakan harga kedelai ini menjadi kado pahit bagi industri tahu dan tempe di awal tahun 2021, mengingat di tengah pandemi Covid-19 saat ini daya beli masyarakat menurun.

“Kedelai sebagai bahan baku utama bagi industri tahu dan tempe tentu akan sangat mempengaruhi harga produk tahu dan tempe di masyarakat. Jika harga kedelai naik, maka harga tahu dan tempe di masyarakat juga akan ikut naik. Dengan begitu kenaikan harga kedelai akan menimbulkan efek berganda, mengingat para pelaku UMKM juga menggunakan tahu dan tempe sebagai bahan baku produk makanan yang mereka jual,” ucap Nevi dalam keterangan persnya, Senin (4/12).

Mengurangi ketergantungan impor tersebut, Nevi menilai sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, khususnya pada pasal 54 ayat (3), pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri, atau untuk menjaga neraca pembayaran maupun neraca perdagangan.

Dia mengatakan pembatasan impor tersebut harus diimbangi peran pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dari dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai untuk industri dapat dipenuhi tanpa harus impor. (Baca Juga: Ini Materi Penting dalam RPP Sektor Perdagangan)

“Pada tahun 1992 Indonesia pernah melakukan swasembada kedelai, saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun. Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani," ujar Nevi.

Meredanya perang dagang antara AS dan China diduga menjadi faktor penyebab kenaikan harga kedelai, sambung Nevi. Indonesia yang sebagian besar kedelainya bergantung pada AS, menjadi terdampak ketika China memborong kedelai AS.

Tags:

Berita Terkait