Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia
Oleh: Heru Susetyo *)

Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia

Pada pertengahan Juli 2008 publik Indonesia kembali tersentak. Eksekusi hukuman mati, yang diduga hanya sekedar gertakan, dan tak benar-benar dilaksanakan, ternyata betul-betul terjadi

Bacaan 2 Menit

 

Selanjutnya, yang harus diperhatikan adalah memperbaiki manajemen dan hukum acara eksekusi  mati di Indonesia. Mengapa harus memenjara orang hingga dua puluh tahun kalau akhirnya dieksekusi mati juga?   Dan bukan hanya kasus Sumiarsih dan Sugeng. Sudah cukup banyak terpidana mati yang menunggu bertahun-tahun lamanya (death row) sebelum akhirnya dieksekusi mati.  Harapan-harapan yang sempat dibangun oleh terpidana mati karena diperkenankan hidup puluhan tahun setelah jatuhnya vonis mati, pupus sudah.  Sementara itu, puluhan lainnya yang sudah dijatuhi hukuman mati dan tengah menanti eksekusi mati ataupun tengah mengajukan upaya hukum lain (PK atau Grasi) menjadi semakin gelisah. Mereka telah ‘dieksekusi mati' sebelum benar-benar dieksekusi mati.

 

Data Kejaksaan Agung RI tahun 2006 menyebutkan, pasca eksekusi Tibo dkk,  jumlah seluruh terpidana mati di kejaksaan di seluruh Indonesia ada delapan puluh sembilan (89) orang dan yang sudah dinyatakan final serta berkekuatan hukum tetap (legally binding) ada delapan (8).  

 

Perlu ada revisi mendasar terhadap hukum acara pidana mati.  Selama ini, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) tahun 1981 dikenal adanya proses di pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri atau pengadilan militer), kemudian tingkat banding (pengadilan tinggi), tingkat kasasi di Mahkamah Agung, peninjauan kembali (PK) apabila ada alat bukti baru di Mahkamah  Agung, dan akhirnya permohonan grasi kepada Presiden.  Namun tidak pernah ada kejelasan berapa kali proses peninjauan kembali (PK) maupun permohonan grasi dapat dilakukan.  Maka, perlu ada kejelasan ataupun amandemen terhadap hukum acara sejauh menyangkut pidana mati ini, demi penghargaan terhadap hak-hak terpidana, keluarganya, maupun hak-hak korban kejahatan.

 

Cara mengeksekusi mati juga perlu dikaji kembali.  Apakah sudah cukup efektif dengan menggunakan tembakan (senjata api) oleh sekelompok polisi yang selalu terjadi di tempat rahasia setelah sebelumnya kucing-kucingan dengan wartawan?  Ataukah ada cara lain yang lebih efektif dan meringankan penderitaan sang terpidana semisal suntikan mati misalnya?

 

Para terpidana mati memang barangkali telah berbuat kejahatan. Telah menimbulkan korban dan  penderitaan. Namun jangan sampai negara dan juga masyarakat melakukan pembalasan dan penderitaan berlebihan. Bagaimanapun para terpidana mati masih memiliki hak-hak dan telah menjalani sanksi sosialnya selama menjalani penjara.  Maka, tinjau kembali legalitas hukuman matinya. Kalaupun akhirnya harus dieksekusi mati, pilihlah cara yang paling ringan dan membuat mereka tidak lama menderita. 

 

*) Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Human Rights & Peace Studies Mahidol University – Thailand/Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum UI - Depok

 

Tags: