Lima Catatan LBH Jakarta terhadap Kenaikan Harga BBM Bersubsidi
Terbaru

Lima Catatan LBH Jakarta terhadap Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

Masyarakat bakal makin sulit mencukupi kebutuhan dasarnya, seperti komoditas pangan, sandang, dan papan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Menurutnya, program penyaluran BLT rentan menjadi bancakan. Ujungnya bantuan sosial dikorupsi seperti halnya yang dilakukan Juliari Batubara. Padahal tindakan korupsi yang melanggar hak asasi manusia dilakukan di masa pandemi. Sementarra kenaikan BBM dengan tidak berstatus kebencanaan dan kedaruratan berpotensi besar adanya keberulangan tindakan koruptif terjadi.

“Menjawab masalah kenaikan BBM dengan BLT yang memberi ruang atas tindakan koruptif, sama saja dengan memberi penanganan masalah yang sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan (plasebo),” kata dia.

Ketiga, angka realisasi subsidi sampai dengan 31 Januari 2022 naik sebesar 347,38% dari tahun sebelumnya dengan Subsidi Energi sebesar Rp10,18 triliun yang mencakup Subsidi BBM dan Liquefied petroleum gas (“LPG”) serta subsidi listrik. Sedangkan, realisasi anggaran infrastruktur pada tahun 2021 saja mencapai Rp 402,8 triliun, tumbuh 31,1% dari tahun 2020.

LBH Jakarta melihat watak pembangunan-isme pemerintah makin diperlihatkan dan menjadi prioritas. Ketimbang menaikkan harga BBM subsidi, pemerintah semestinya dapat menghentikan beberapa proyek infrastruktur dan strategis nasional (PSN) yang cenderung memakan porsi besar dalam anggaran belanja negara. Seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) proyek jalan tol dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Pengacara publik LBH Jakarta lainnya, M. Charlie Meidino Albajili melanjutkan poin berikutnya.Keempat, menaikkan harga BBM tidak memberikan solusi atas ancaman krisis energi di kemudian hari. Menurutnya, kondisi tersebut dapat dilihat dari tingkat ketergantungan pada bahan bakar fosil (fossil fuels) masih tinggi. Padahal cadangan energi fosil di Indonesia kian menipis. Sedangkan cadangan minyak Indonesia hanya bakal bertahan kurang dari 10 tahun. “Hal ini dapat mengantarkan Indonesia pada krisis energi di kemudian hari,” kata dia.

Bagi LBH Jakarta, kata Charlie, pemerintah belum serius menyiapkan dan menyelesaikan infrastruktur transisi dari energi fosil ke energi bersih. Sementara pemerintah dalam menaikkan harga BBM, tidak diikuti dengan menurunkan atau menggratiskan transportasi publik dan massal. Alhasil, warga bakal lebih memilih memobilisasi menggunakan transportasi publik dan massal.

“Kebijakan pemerintah Indonesia masih jauh dari solusi paripurna untuk mengantisipasi krisis energi dan iklim. Alih-alih menurunkan angka konsumsi energi fosil dengan naiknya harga BBM, pemerintah justru memberi kemudahan bagi warga di luar kepentingan kegiatan usaha untuk memiliki kendaraan lebih dari satu, dan membuat kemacetan dan polusi udara kian parah,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait