LSM Lingkungan Persoalkan Proses Amdal dalam UU Cipta Kerja
Terbaru

LSM Lingkungan Persoalkan Proses Amdal dalam UU Cipta Kerja

Para pemohon meminta Pasal 22 angka 5 UU Cipta Kerja dimaknai dalam penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara bebas dan sukarela untuk melindungi kepentingan dan kebutuhannya.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, pada Selasa (26/10/2021) secara daring. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 55/PUU-XIX) 2021 ini dimohonkan oleh Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (Yayasan HakA) yang diwakili oleh Farwiza dkk.

Para pemohon mempersoalkan penghapusan keterlibatan masyarakat memberi masukan terhadap dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal) sebagaimana diatur Pasal 26 ayat (3) UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), tapi telah diubah oleh Pasal 22 angka 5 UU Cipta Kerja.

Dalam persidangan, Pemohon yang diwakili oleh Harli mengatakan organisasi lingkungan hidup memiliki hak konstitusional memberikan, menyampaikan informasi khusus mengenai lingkungan hidup dalam proses Amdal yang berdampak positif berupa peningkatan keindahan lingkungan bila sebuah proyek dibangun. (Baca Juga: 7 Poin Penting Pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja)

Bisa juga berdampak negatif berupa ancaman atau potensi kerusakan lingkungan hidup atau potensi kehilangan keanekaragaman hayati atas kehadiran sebuah project pada proses penyusunan Amdal. “Dokumen Amdal merupakan dokumen legal yang digunakan untuk mengambil keputusan lanjut atau tidak lanjutnya sebuah proyek, tergantung dari jenis risiko dan tergantung dari jenis ancaman ke depan,” kata Harli dalam persidangan seperti dikutip laman MK.   

Menurutnya, untuk meminimalisir dampak, setiap usaha atau kegiatan berdampak penting, Pemohon memiliki kewajiban terlibat dalam penyusunan Amdal. Kajian ini mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan tersebut.

“Amdal instrumen penting setiap usaha atau kegiatan pembangunan, memuat pengkajian mengenai dampak, evaluasi di sekitar lokasi rencana, saran, masukan, serta tanggapan masyarakat; prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat pentingnya dampak yang terjadi jika rencana usaha atau kegiatan tersebut dilaksanakan, evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup dan rencana pengolahan, pemantauan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha,” jelas Harli.

Harli mengatakan penyusunan Amdal adalah tahapan, seperti prosedur terdiri dari proses penapisan/screening, perusahaan wajib Amdal. Kemudian pengumuman yang disampaikan secara terbuka ke masyarakat, proses pelingkupan (scooping); penyusunan dan pilihan Ka-Amdal, kemudian penyusunan Kerangka Acuan Amdal RKL; rencana pengelolaan lingkungan; rencana pemantauan lingkungan, persetujuan akan lingkungan yang disebut dengan tahap-tahap dalam pembuatan Amdal.

Harli menegaskan sebelumnya Pemohon pernah terlibat dalam Komisi Amdal daerah untuk menentukan ikut terlibat memberikan masukan terhadap Amdal. “Jadi, hadirnya UU Cipta Kerja, itu semua dihapus, hanya mensyaratkan masyarakat yang terlibat yang terkena dampak langsung. Sedangkan mereka yang tidak terkena dampak langsung, itu dihapus oleh UU Cipta Kerja,” tegas Harli dalam sidang yang diketuai Arief Hidayat ini.

Menurut Harli, penghapusan keterlibatan Pemohon dalam memberi masukan terhadap dokumen Amdal, sebagaimana ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU 32/2009, namun telah diubah oleh Pasal 22 angka 5 UU 11/2020, jelas kerugian atau potensi kerugian konstitusional Pemohon untuk mencegah dan melindungi kerusakan lingkungan akibat dari proyek pembangun atau proyek skala besar yang wajib Amdal.

“Berlakunya Pasal 22 angka 5 UU Cipta Kerja, akan menghalangi Pemohon dalam menjalankan aktivitasnya untuk bersosialisasi dalam penyusunan Amdal, maupun dalam rangka pelestarian atau perlindungan pengelolaan lingkungan hidup.”

Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 22 angka 5 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: ”Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara bebas dan sukarela untuk melindungi kepentingan dan kebutuhannya”.

Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta pemohon untuk menyederhanakan legal standing dan mempertegas kerugian konstitusional yang dialaminya. “Untuk legal standing, tolong Anda sederhanakan lagi agar syarat kerugian konstitusional bisa terbaca dengan baik dalam Permohonan ini. Ini jangan terlalu mau memasukkan semuanya. Padahal yang paling penting itu menjelaskan siapa Pemohon, apa aktivitasnya, kerugian hak konstitusional apa yang dialaminya dengan berlakunya norma ini?” ujar Saldi.

Kemudian Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta pemohon memperbaiki kedudukan hukum dan menyederhanakan posita.

“Prinsipal selalu mendapat legal standing (kedudukan hukum), tapi ada kekhususan di MK yang berkaitan kerugian konstitusional yang dijamin konstitusi dengan berlakunya norma. Nah, normanya itu membatasi, Pak. Nah, itu bagaimana Bapak bisa membedah itu untuk bisa mendapatkan tiket legal standing tadi?” tanya Suhartoyo.  

Dia meminta dalam uraian-uraian perbaikan permohonan mendatang, supaya bisa meyakini bahwa memang baik aktual maupun potensial, prinsipal Bapak mengalami kerugian dengan berlakunya norma ini. “Karena norma ini addresat-nya dibatasi hanya masyarakat yang terdampak langsung.”

Tags:

Berita Terkait