M. Jasman: Perkara Kehutanan Bisa Dijerat dengan Dakwaan Korupsi
Utama

M. Jasman: Perkara Kehutanan Bisa Dijerat dengan Dakwaan Korupsi

Dugaan penyelewengan uang negara di tubuh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) telah menggelinding ke meja hijau. Empat mantan pengurus asosiasi itu duduk di kursi terdakwa: Adiwarsita Adinegoro, H Zain Mansyur, HA Fattah dan Yusran Sharif.

CR-1
Bacaan 2 Menit
M. Jasman: Perkara Kehutanan Bisa Dijerat dengan Dakwaan Korupsi
Hukumonline

 

Jum'at (26/08) pekan lalu, hukumonline mewawancarai Jasman seputar dakwaan korupsi yang dia ajukan terhadap para pengurus APHI. Berikut petikannya:

 

Mengapa dalam kasus APHI, Anda menggunakan jerat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

Kalau tidak salah sudah ada Surat Edaran Jaksa agung yang meminta agar kasus-kasus kehutanan dijadikan perkara korupsi. Ini berkaitan dengan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang pemberantasan illegal logging. Kejaksaan menyikapinya secara  proaktif, untuk memberantas tindak pidana di bidang kehutanan ini melalui Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun sebenarnya sudah ada UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Namun sebagaimana kita lihat selama ini UU Kehutanan kurang greget, sehingga kita coba UU Pemberantasan Korupsi. Dalam waktu dekat, Kejaksaan mentargetkan sudah ada kasus-kasus perambahan hutan yang dibawa ke pengadilan. Sekarang ini kami fokus di Sumatera dulu.

 

Bukankah perkara APHI tindak pidana kehutanan?

Bukan. Sebenarnya ini bukan kasus kehutanan. Mungkin saja berkaitan, karena potret udara seyogianya dilakukan untuk penataan hutan. Jadi kebijakan Menteri Kehutanan untuk mengeluarkan SK No. 102/1989 dan No. 442/1988, supaya pemegang HPH ini berkewajiban melakukan pemotretan areal hutan melalui udara. Berkaitan dengan itu, pada 22 Juli 1988, para pemegang HPH bersepakat  melakukan pemotretan udara sesuai SK Menhut. Lalu, demi efisiensi dan efektivitas, mereka menyerahkan tugas itu kepada APHI. Para pemegang HPH dikutip AS$1 per meter kubik untuk kayu log, AS$2 per meter kubik untuk kayu olahan.

 

Kasus Perhutani, yang sejenis dengan kasus APHI, justru di SP3-kan Kejaksaan karena tidak terbukti uang negara. Tidak khawatir dakwaan Anda gagal?

Soal resiko, semua pekerjaan punya resiko. Persoalannya berpulang kepada yang punya gawe. Apakah dia optimis atau tidak. Sampai sekarang saya masih optimis. Kalau putusan hakim, mari kita sama-sama melihat nanti. Memang, ada sedikit perbedaan pendapat mengenai keuangan negara: apakah dana APHI termasuk uang negara atau tidak. Memang ini sangat riskan, tetapi kita lihat saja nanti (putusan hakim).

 

Menurut Anda, apakah setiap ada uang negara yang disalahgunakan otomatis bisa dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

Bisa, otomatis. UU itu kan sangat sederhana. Setiap orang melakukan perbuatan secara melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara, bisa didakwa korupsi. Jadi kalau ada perbuatan memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara itu sudah korupsi. Nah itulah dasar kami memasukkan kasus-kasus kehutanan sebagai tindak pidana korupsi. Jadi unsurnya ada tiga menurut Pasal 2 UU No. 31 Tahun  1999. Menurut Pasal 3, setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan jabatan yang ada padanya sehingga mengakibatkan negara dirugikan. Bisa juga karena perekonomian negara dirugikan.

 

Bukankah dalam kasus APHI uang negara lebih sedikit dibanding iuran pemegang HPH lain dari swasta?

Saya tidak mempersoalkan masalah keanggotaan APHI. Kami menerima keterangan saksi ahli yang mengatakan bahwa dengan keanggotaan Inhutani I-V (BUMN) otomatis uang APHI adalah uang negara. Menurut saya tidak hanya itu. Uang APHI adalah uang APHI. Yang saya persoalkan dalam kasus itu adalah uang AS$18 juta yang diserahkan pengurus lama ke pengurus baru tahun 1998. Jadi bukan  uang APHI secara keseluruhan, melainkan menyangkut uang AS$18 juta dari AS$ 24 juta.

 

Pengacara terdakwa menunjuk keterangan saksi-saksi bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus APHI. Menurut Anda, dimana sebenarnya letak kerugian negara?

Seharusnya uang AS$ 18 juta ini. Seharusnya ada pekerjaan yang harus diselesaikan, yaitu pemotretan udara. Potret udara berdasarkan keputusan Menhut Nomor 442, bahwa foto udara menjadi milik Departemen Kehutanan. Seperti yang dikatakan saksi ahli, bahwa para pengusaha itu mendapat fasilitas atau kemudahan dari Pemerintah. Mereka dikasih izin untuk memperoleh hasil hutan, kemudian dari hasil itu, mereka punya kewajiban untuk melestarikan hutan. Dalam kerangka mewujudkan hutan lestari maka ada kutipan-kutipan. Sayang, pengertian itu oleh beberapa orang dianggap multi-tafsir.

 

Fasilitas apa yang didapatkan APHI

Kewenangan untuk mengutip AS$1 dolar atau AS$2 per meter kubik kayu. Ingat surat-surat Menteri Kehutanan (mengenai kewajiban foto udara) ditembuskan ke APHI.

 

Bagaimana Anda melihat doktrin ultimum remedium terkait dengan status APHI sebagai sebuah organisasi?

Ini menyangkut pertanggungjawaban. Ada dua pertanggungjawaban, secara administratif dan fungsional. Misalnya seorang pejabat yang mengeluarkan sebuah kebijakan, itu bisa saja dituntut tanggung jawab administratif. Pertanggungjawaban fungsional berarti pemeriksaan dilakukan lembaga intern. Tapi dalam tindak pidana, tidak ada pertanggungjawaban administrasi atau fungsional. Seolah-olah dalam kasus APHI dipersoalkan kenapa tidak dipertanggungjawabkan lewat Munas. Pertanggungjawaban lewat Munas kalau bicara pengawasan fungsional. Tetapi kalau bicara hukum pidana, tidak ada itu pertanggungjawaban fungsional atau administratif.

 

Bagaimana penilaian BPKP mengenai penyalahgunaan dana APHI?

BPKP mengatakan bahwa itu uang negara. BPKP adalah lembaga formal yang diakui oleh negara untuk menghitung kerugian negara. Nanti yang kita jadikan tolok ukur adalah hasil penghitungan BPKP.

 

Dalam putusan PK perkara Bob Hasan dikatakan bahwa keuangan APHI bukan keuangan negara. Tanggapan Anda?

Menurut keterangan saksi ahli, bahwa tidak semua putusan MA otomatis menjadi yurisprudensi. Betul putusan MA yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat dijadikan yurisprudensi. Tapi tidak semuanya menjadi sumber hukum yurisprudensi. Kita harus memilah-milah. Kalau itu sudah berdasarkan yurisprudensi tetap barulah kita jadikan sumber hukum. Kedua, saya sependapat dengan majelis hakim PK bahwa uang APHI adalah uang swasta. Tetapi yang saya persoalkan dari kasus APHI ini adalah foto udara. Yang saya maksudkan dari keuangan swasta itu adalah sisa dari semua dana APHI dikurangi AS$ 18 juta. Kami tidak mendakwakan seluruh uang APHI, melainkan yang AS$ 18 juta yang harusnya diperuntukkan untuk foto udara.

 

Banyak sekali dana APHI yang mengalir ke tujuan orang tertentu yang belum jelas, seperti M.Z. Hutagaol. Apakah Anda akan mengejar mereka sampai uang negara itu dikembalikan?

Sebenarnya MZ Hutagaol sudah memberikan keterangannya di BAP. Tapi kami sudah panggil beberapa kali. Dan karena tempat tinggalnya di Lampung, Kejari di Lampung melaporkan bahwa yang bersangkutan tidak bertempat tinggal di Lampung sejak dua tahun yang lalu. Sewaktu memberikan keterangan di Kejaksaan itu berarti dia  memberikan alamat yang tidak benar. Jadi kita memang kesulitan menghadirkan dia. Itu jika dilihat dari sisi pemanggilan.

 

Kenapa Kejaksaan mensplit (memecah) perkara APHI hingga pemeriksaan di pengadilan terkesan ruwet?

Alasan pertama, berdasarkan fakta terdakwa Yusron Sharif itu kan hanya melakukan beberapa perbuatan, kalau tidak salah hanya lima perbuatan pidana. Jadi kita pertanggungjawabkan Yusran Sharif untuk perbuatan Adiwarsita. Menurut aturan APHI, dua orang harus menandatangani dana keluar. Sementara yang berhak tanda tangan ada lima orang. Terkadang Adiwarsita menandatangani dengan Yusron, terkadang dengan yang orang lain. Jadi tidak bisa kami samakan semua. Nanti sulit kita membuat dakwaan. Juga dari penyidik kita menerima lima berkas.

 

Ada pendapat bahwa kegigihan Kejaksaan membawa kasus ini karena motif tertentu?

Saya tidak mau melihat itu. Kalau ada isu bahwa yang menyatakan terdapat kepentingan tertentu, saya tidak melihatnya. Saya hanya melihat secara yuridis formal, karena menurut penyidik dianggap sudah memenuhi rumusan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adalah M. Jasman Panjaitan, ketua tim jaksa yang ditunjuk menangani perkara APHI. Dalam persidangan Jasman berupaya mengungkap dan membuktikan terjadinya penyelewenangan dana APHI semasa kepemimpinan Adiwarsita. Selama persidangan, lulusan Universitas Padjadjaran Bandung itu terus berusaha menepis argumen-argumen dari tim kuasa hukum terdakwa. Ia begitu bersemangat jika diajak berbicara mengenai penanganan perkara korupsi di sektor kehutanan.

 

Ia bahkan sudah mewanti-wanti akan adanya penangkapan terhadap seorang pengusaha perkebunan besar di Sumatera. Benar saja. Pekan ini, Kejaksaan Agung menahan Raja DL Sitorus, bos PT Torganda.

 

Banyak hal yang menjadi sasaran tembak pengacara terdakwa. Misalnya, apakah uang yang dikelola APHI termasuk uang negara. Bukankah APHI lembaga swasta dan anggotanya adalahj pengusaha pemegang HPH? Mengapa kasus kehutanan harus dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi? Dan sederet pertanyaan lain.

Halaman Selanjutnya:
Tags: