MA akan Terbitkan SEMA Pendampingan Korban KDRT
Utama

MA akan Terbitkan SEMA Pendampingan Korban KDRT

Menjadi salah satu agenda pembahasan Rakernas MA. Disambut gembira aktivis perempuan.

Her/NNC
Bacaan 2 Menit
MA akan Terbitkan SEMA Pendampingan Korban KDRT
Hukumonline

 

Merasa upaya pendampingan korban KDRT menuai hambatan, para aktivis perempuan lantas mendesak Mahkamah Agung (MA) agar mengeluarkan SEMA demi menambal bolong yang ada di hukum acara. Dasar para aktivis adalah UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Pasal 10 butir (d) UU tersebut menyatakan, korban KDRT berhak mendapat pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

UU Penghapusan KDRT
Pasal 10

Korban berhak mendapatkan:

a.    perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga  sosial, atau pihak Iainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah  perlindungan dari pengadilan;

b.    pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c.     penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d.    pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses  pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e.    pelayanan bimbingan rohani.

 

 

Desakan para aktivis perempuan itu ditanggapi positif oleh MA. Dalam Rakernas di Makassar yang berlangsung pekan ini, SEMA pendampingan korban KDRT itu menjadi salah satu agenda pembahasan. Kami sudah mencapai kesepakatan dalam Rakernas ini, semacam rumusan, meminta kepada pimpinan MA agar pendampingan itu diijinkan, kata Ketua Muda Perdata Agama, Andi Syamsu Alam, di sela Rakernas, Rabu (5/9).

 

Andi menyatakan, sesungguhnya SEMA ini hanya diperlukan untuk perkara pidana saja. Namun karena KDRT berkaitan erat dengan perceraian, maka SEMA ini kemungkinan juga berlaku untuk perkara perceraian yang mengandung KDRT.

 

KDRT –yang merupakan delik aduan--memang berpotensi besar menimbulkan perceraian. Sementara berkas pengaduan masih diproses kepolisian, gugatan cerai bisa jadi sudah mampir di pengadilan, terutama Pengadilan Agama. Dan kenyataannya, para aktivis perempuan juga turut mendampingi korban KDRT dalam sidang perceraian.

 

Untuk perkara pidana, dalam persidangan si korban sudah diwakili oleh jaksa. Tugas pendamping biasanya memotivasi dan memberi pengetahuan hukum kepada si korban. Sedangkan untuk perkara perceraian, bila tak menyewa pengacara, si korban biasanya dibantu aktivis selaku pendamping. Dimintakan oleh Komnas Perempuan agar pendamping rohani dan pendamping legalnya diijinkan masuk (ke ruang sidang--red), ujar Andi.

 

Andi menjabarkan, pendamping korban KDRT kelak akan dipilah menjadi dua, yaitu pendamping legal dan pendamping rohani. Pendamping legal untuk mengurusi masalah hukum, sedangkan pendamping rohani  untuk memberikan pemahaman dan bimbingan spiritual.

 

Sejauh ini MA belum memutuskan, apakah nanti para pendamping itu harus mendapat surat kuasa khusus dari si korban atau tidak. Mungkin kalau diijinkan MA, cukup dengan keterangan dari Komnas Perempuan, sebagai pendamping legal, kata Andi.

 

Positive Thinking

Direktur LBH APIK, Estu Rakhmi Fanani, menyambut baik rencana MA merumuskan SEMA pendampingan korban KDRT. Sudah sejak tiga tahun terakhir, kebutuhan terhadap SEMA itu memang kian terasa. Pada Maret 2005 silam, para aktivis perempuan bahkan telah mulai mendesak MA agar menerbitkan SEMA ini.

 

Dalam kasus KDRT, korban –yang kebanyakan perempuan--seringkali mengalami guncangan mental. Karena itulah, mereka memerlukan pendampingan dalam segala hal, termasuk dalam bidang hukum, kata Estu.

 

Estu berharap agar perumusan SEMA ini melibatkan berbagai kalangan yang kompeten. Tidak perlu terlalu terburu-buru. MA harus mensosialisasikannya dan minta masukan dari berbagai pihak, ungkapnya. Meski perumusan SEMA ini lumayan telat, Estu mengaku positive thinking terhadap upaya MA.

 

Berdasarkan pengakuan Andi, agaknya MA cukup serius menggodok SEMA penampingan korban KDRT. Konon, untuk keperluan ini, MA dan Komnas Perempuan telah berkoordinasi dengan Family Court Australia. Mereka memberikan dukungan moril pada Komnas Perempuan. Unit-unit dari kami juga diundang ke  Family Court Australia untuk presentasi mengenai ini, ujar Andi. 

 

Kecuali saat pembukaan dan pembacaan putusan, sidang perceraian pada dasarnya tertutup untuk umum. Yang boleh mengikuti persidangan hanya para pihak yang berperkara, yaitu suami-istri dan atau kuasa hukumnya.

 

Akhir-akhir ini, yang ikut nimbrung dalam sidang perceraian ternyata tak hanya suami-istri atau kuasa hukumnya. Dalam kasus perceraian yang mengandung unsur Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), aktivis perempuan kerap terlibat dalam sidang. Posisi mereka sejatinya hanya sebagai pendamping istri sebagai  korban KDRT. Tidak seperti pengacara, mereka tak berbekal surat kuasa.

 

Pihak suami atau pengacaranya tidak jarang menyoal keberadaan aktivis perempuan itu. Hakim, sebagai penengah, biasanya memihak pengacara. Alasan hakim, hukum acara tidak membolehkan ada pihak lain dalam sidang perceraian, selain suami-istri atau kuasa hukumnya.

 

Pasal 837 jo Pasal 838 KUHPerdata menyebutkan bahwa sidang perkara perceraian tertutup untuk umum. Pemeriksaan saksi-saksi juga dilakukan dalam sidang tertutup. Senada dengan ketentuan itu ialah ketentuan Pasal 33 jo Pasal 34 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tags: