MA Diminta Batalkan PP OSS
Berita

MA Diminta Batalkan PP OSS

Karena izin lingkungan berbasis komitmen yang diterbitkan lembaga OSS dinilai mengabaikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Amdal dan izin lingkungan seharusnya menjadi syarat utama yang harus dipenuhi sebelum pemerintah menerbitkan izin bagi pelaku usaha.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Dalam permohonannya, Koalisi menilai PP No.24 Tahun 2018 ini bertentangan dengan sejumlah UU seperti UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; UU No.51 Tahun 2009 tentang PTUN; UU No.32 Tahun 2009; UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam bagian petitumnya, Koalisi meminta MA membatalkan PP No.24 Tahun 2018.

 

Dia menegaskan melalui permohonan ini bukan berarti Koalisi mau menghambat investasi. Sebaliknya, Koalisi mendorong pemerintah untuk menyederhanakan dan mempercepat proses perizinan tanpa mengabaikan perlindungan lingkungan hidup. Amdal dan izin lingkungan, bagi Raynaldo bukan penghambat atau faktor yang mempersulit masuknya investasi, tapi itu penting untuk mencegah masuknya investor yang memiliki rekam jejak buruk.

 

Menabrak aturan

Koalisi juga mengapresiasi upaya pemerintah menyederhanakan perizinan melalui OSS dalam rangka menghilangkan suap, pungli, dan korupsi. Namun, berbagai upaya itu harus dijalankan selaras dengan perlindungan terhadap lingkungan hidup. “Penyederhanaan, percepatan proses perizinan ini jangan sampai ‘menabrak’ HAM dan kelestarian lingkungan hidup,” kata dia mengingatkan.

 

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati menilai PP No.24 Tahun 2018 “menabrak” banyak aturan salah satunya UU No.32 Tahun 2009. Pemerintah harus memperhatikan lingkungan hidup sebelum menerbitkan kebijakan karena bencana ekologis dan kerusakan lingkungan terus meningkat. Amdal dan izin lingkungan harus menjadi syarat utama yang harus dipenuhi sebelum pemerintah menerbitkan izin bagi pelaku usaha. “Amdal dan izin lingkungan jangan sekedar formalitas, tapi harus menjadi syarat utama,” tegasnya.

 

Selain berfungsi sebagai instrumen yang melindungi lingkungan hidup, perempuan yang disapa Yaya itu menjelaskan amdal penting untuk proses partisipasi masyarakat. Masyarakat berhak untuk setuju atau tidak terhadap kegiatan usaha yang akan berjalan di wilayah mereka. Yaya mengingatkan pengabaian partisipasi masyarakat ini memicu terjadinya konflik. Ironisnya, penanganan terhadap konflik kerap dilakukan secara represif, sehingga menimbulkan pelanggaran HAM.

 

Menurut Yaya, partisipasi masyarakat mekanisme penting untuk menjalankan mandat konstitusi yang menyebut setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. “Pendaftaran gugatan ke MA ini merupakan jalan terakhir yang kami lakukan setelah sebelumnya kami mengingatkan pemerintah adanya potensi bencana lingkungan akibat diterapkannya PP No.24 Tahun 2008,” katanya.

Tags:

Berita Terkait