Sejumlah pemangku kepentingan mendesak Mahkamah Agung (MA) agar segera memutuskan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 20 Tahun 2008 dan Peraturan KPU No. 26 tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Hal ini agar ada kepastian hukum untuk mengakhiri perdebatan yang selama ini terjadi terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019. Mengingat sudah mendekati pengumuman penetapan daftar calon tetap (DCT) oleh KPU.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon berharap dalam waktu dekat MA bisa segera memutuskan uji materi Peraturan KPU tersebut. Hal ini untuk menengahi perdebatan antara pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) terutama antara KPU dan Bawaslu. “Ini cara yang paling mendekati untuk bisa mengakhiri polemik ini. Artinya, MA bisa segera mengambil sikap,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (6/9/2018).
Harapan ini menyusul perdebatan sengit antara KPU dan Bawaslu yang mengabulkan gugatan atas keputusan KPU yang mencoret beberapa nama bacaleg yang merupakan mantan narapidana korupsi dalam daftar caleg sementara (DCS) di beberapa daerah. Bawaslu dianggap mengabaikan dua Peraturan KPU tersebut yang spesifik ada larangan nyaleg bagi mantan narapidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak.
Bawaslu menganggap melarang warga negara menjadi caleg sekalipun mantan narapidana korupsi merupakan tindakan inkonstitusional yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan UU Pemilu. Alhasil, Bawaslu berharap banyak agar MA segera memutuskan judicial review dua Peraturan KPU tersebut sebagai jalan tengah untuk mengakhiri perdebatan yang selama ini terjadi.
Menurut Fadli, terbitnya Peraturan KPU tersebut tidak menyesuaikan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). “Makanya, MA harus segera membuat putusan terhadap uji materi Peraturan KPU tersebut agar ada kepastian,” tegasnya.
Anggota Komisi II DPR, Firman Subagyo menilai UU 7/2017 masih membuka ruang bagi mantan narapidana yang telah menjalani masa hukumannya untuk menjadi calon anggota legislatif dalam Pemilu sepanjang yang bersangkutan mengumumkan ke publik. Namun, faktanya aturan larangan mantan narapidana khususnya kasus korupsi masih menimbulkan polemik. Karenanya, MA ataupun MK semestinya menjadi forum mengakhiri polemik ini.
“Lebih baik mereka (MA dan MK) berkomunikasi sebagai lembaga peradilan dalam menetapkan sikap yang terbaik,” harapnya. Baca Juga: MA Tunda Putuskan Uji Materi Larangan Eks Koruptor Nyaleg
Pihaknya meminta agar uji materi Peraturan MK segera diputuskan. Apalagi, sudah ada pernyataan dari Juru Bicara MK, bahwa MA boleh saja memutuskan peraturan KPU ini karena MK tidak sedang menguji norma yang berhubungan dengan larangan mantan narapidana menjadi caleg dalam pengujian UU Pemilu. Karenanya, MA tak perlu menunggu putusan uji materi UU Pemilu dan bisa segera memutuskan.
“MA tinggal memutus dalam waktu secepat-cepatnya agar kontroversi mengenai Peraturan KPU itu bisa segera ada kepastian hukum,” harapnya.
Mantan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) itu khawatir bila tak segera diputus uji materi Peraturan KPU tersebut terus jadi polemik di masyarakat. “Ini supaya DPR, Bawaslu, KPU, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak terus berpolemik mengenai mantan terpidana korupsi nyaleg,” ujar politisi Partai Golkar itu.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menegaskan Peraturan KPU memang mestinya merujuk UU Pemilu yang masih membolehkan mantan narapidan menjadi caleg sepanjang mengumumkan ke publik. Makanya, pemerintah, DPR dan Bawaslu saat rapat dengan KPU menolak Peraturan KPU. Namun, akhirnya tetap disahkan melalui Peraturan KPU No.20/2018.
“Setelah diundangkan Kementerian Hukum dan HAM, pemerintah tak bisa menghalangi kebijakan yang sudah diputuskan KPU. Tinggal menunggu putusan MA,” ujarnya.
Sebelumnya, Bawaslu, KPU dan DKPP telah menggelar pertemuan di Kantor Bawaslu pada Rabu (5/9) kemarin. Dalam pertemuan tersebut, ketiga lembaga pun bersepakat agar uji materi Peraturan KPU di MA dapat segera diputuskan. Ketua DKPP, Harjono bakal menyampaikan permintaan ini secara formal dalam waktu dekat kepada MA.
Menurutnya, MA seharusnya dapat menggunakan kewenangannya agar memutus perkara-perkara kepemiluan secara cepat. Mengingat setiap tahapan pemilu dibatasi dengan waktu. Sebab, kabarnya MA menunda untuk memutuskan uji materi Peraturan KPU hingga pengujian UU Pemilu diputuskan MK.
“Bagi KPU, Bawaslu, dan DKPP mengatasi kemelut boleh atau tidaknya mantan narapidana (korupsi) nyaleg bergantung pada putusan MA,” kata dia.
Menurut mantan hakim MK itu ketiga lembaga itu bakal melakukan pendekatan ke partai politik peserta Pemilu 2019. Harapannya, agar partai politik tersebut bisa menarik bakal calon anggota legislatifnya yang berstatus mantan narapidana korupsi. Apalagi, sebelum masa pendaftaran bacaleg, parpol sudah meneken pakta integritas yang berisi kesepakatan tidak mencalonkan mantan narapidana korupsi.
“Ini bisa didialogkan kembali. Kemudian ada keikhlasan dari parpol, pakta integritas harus ditegakkan oleh parpol yang calonnya ada persoalan kasus korupsi yang seharusnya menarik bacaleg tersebut,” katanya.
MA menyatakan akan menunda uji materi kedua Peraturan KPU tersebut mengenai larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi bacaleg dalam Pemilu 2019. “Uji materi dua Peraturan KPU itu yang melarang mantan koruptor nyaleg dihentikan (ditunda) oleh MA, sampai adanya putusan MK. Sebab, saat ini MK sedang menguji UU Pemilu yang menjadi batu uji Peraturan KPU tersebut,” kata Juru Bicara MA Suhadi, Selasa (4/9/2018) kemarin. (Baca Juga: Sengkarut Aturan Larangan Mantan Koruptor Nyaleg)
Seperti diketahui, ada sekitar 12 permohonan uji materi Peraturan KPU tersebut. Diantaranya dimohonkan oleh Muhammad Taufik, Djekmon Ambisi, Wa Ode Nurhayati, Jumanto, Masyhur Masie Abunawas, Abdulgani AUP, Usman Effendi, dan Ririn Rosiana. Mereka memohon uji materi Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu. Namun, belakangan diketahui belum ada pihak yang memohon pengujian Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu ke MK.