Badan Pengawas Pemilu Diminta Koreksi Putusan tentang Napi
Berita

Badan Pengawas Pemilu Diminta Koreksi Putusan tentang Napi

Bawaslu: mantan napi punya hak yang dilindungi UUD 1945 dan Undang-Undang.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Konferensi pers Bawaslu. Foto: Dhani
Konferensi pers Bawaslu. Foto: Dhani

Ada yang menarik dari kunjungan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Bersih ke kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Jumat (31/8). Dalam kesempatannya, peneliti Indonesian Corrupation Watch (ICW), Donald Faris mengungkap “rahasia” di balik putusan sejumlah Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota yang menerima gugatan mantan terpidana kasus korupsi yang tidak bisa mencalonkan diri dalam Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) pada tahun 2019.

 

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Peraturan KPU) No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, ‘memangkas’ hak mantan terpidana korupsi, kejahatan seksual tehadap anak, dan bandar narkoba untuk mencalonkan diri pada pemilu anggota legislative (Pileg) 2019. Sejak awal, Peraturan KPU itu ditentang sejumlah orang. Puncaknya, Bawaslu di beberapa daerah mengabulkan gugatan caleg mantan terpidana korupsi di 11 daerah. Dengan kata lain, Peraturan KPU ‘dilawan’ putusan Bawaslu.

 

Kesebelas daerah tersebut berturut-turut adalah: Sulawesi Utara, yang mengabulkan gugatan caleg DPD atas nama Syahrial Kui Damapoli; Toraja Utara, caleg DPRD Kabupaten Toraja Utara atas nama Joni Kornelius Tondok (PKPI); Aceh, caleg DPD Aceh atas nama Abdullah Puteh; Rembang, Caleg DPRD atas nama Nur Hasan (Partai Hanura); Pare-Pare, caleg DPRD Kota atas nama Ramadhan Umasangaji (Perindo). Selanjunya, Bulukumba, caleg DPRD Kabupaten atas nama Andi Muttamar Mattotorang, dari Partai Berkarya; Palopo, caleg DPRD Kota, Abdul Salam (Partai Nasdem); DKI Jakarta, caleg DPRD DKI atas nama M. Taufik (Partai Gerindra); Belitung Timur, caleg DPRD Belitung Timur atas nama Ferizal dan Mirhamuddin (Partai Gerindra); Mamuju, caleg DPRD Kabupaten atas nama Maksum Mannas dari PKS; Tojo Una-Una, caleg DPRD Kabupaten dari Partai Golkar atas nama Saiful Talub Lami.

 

(Baca juga: Silang Peraturan KPU Pencalonan Napi Masih Berlanjut)

 

Selain sebelas daerah yang sudah diputus oleh Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota, saat ini masih ada 6 gugatan dalam proses di Blora, Jawa Tengah; Banten; Pandeglang; Kabupaten Lingga; Gorontalo; dan Cilegon. Jumlah putusan sejenis kemungkinan masih bertambah. Namun sebenarnya, tidak semua Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota yang mengabulkan gugatan mantan terpidana korupsi. Panwas Kabupaten Sidoarjo, misalnya, yang menolak gugatan Mustafat Ridwan caleg dari PBB dan Sumi Harsono caleg dari PDIP. “Setelah melakukan pemeriksaan terhadap syarat formil dan materil, gugatan tersebut kami tolak," kata Ketua Panwaslu Kabupaten Sidoarjo, Muhammad Rasul, (27/7) lalu.

 

Terkait sikap sebelas lembaga pengawas di daerah yang menerima gugatan mantan terpidana korupsi ini, Donal Faris menilai adanya akrobat hukum yang sedang dilakukan oleh lembaga yang berkantor pusat di Jalan M.H Thamrin tersebut. Akrobat tersebut bersangkutan dengan langkah Bawaslu mengeluarkan keputusan dengan mengabaikan keberadaan Peratiuran KPU No. 20 Tahun 2018. “Kami mendapatkan informasi bahwa putusan-putusan daerah (yang menerima gugatan mantan terpidana korupsi--red) tersebut merupakan arahan dari Bawaslu,” ujar peneliti ICW itu.

 

Donald menegaskan karakter putusan Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota yang seragam mengabaikan Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 merupakan indikasi adanya arahan dari Bawaslu kepada lembaga struktural di bawahnya. “Tentu Bawaslu bisa membantah atau mengklarifikasi itu. Bagi kami, kalau dibaca karakter dan dari informasi sejumlah teman-teman Bawaslu di daerah memang ada bimbingan untuk ke arah itu (mengabaikan Peraturn KPU-- red). Sehingga menurut saya informasi itu semakin kuat dan semakin klop,” ujar Donald kepada hukumonline.

 

Menurut Donald, secara formil, putusan Bawaslu dan Panwas menggunakan dua dasar yakni, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan napi mencalonkan diri sepanjang terpenuhi syarat. Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyatakan bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan, “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.

Tags:

Berita Terkait