“KPPU diharapkan konsisten dalam menerapkan UU No 5/1999, yaitu ketentuan yang dilanggar dan sanksinya harus konsisten. Maksimalkan sosialisasi kepda pelaku usaha dan masyarakat luas. Dan tentang sanksi denda dan hukuman, agar dikaji kembali, agar lebih mencerminkan keadilan,” ujarnya.
Hal senada juga diutarakan Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015 Suparman Marzuki. Menurutnya dengan perubahan UU Ciptaker dan PP 44/2021, Perma 2/2019 kehilangan dasar hukum. Apalagi ketentuan dalam Perma 3/2019 juga bertentangan dengan PP 44/2019.
Menurutnya hukum acara perkara praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat seharusnya diatur dalam UU tidak dengan Perma, tetapi untuk mengatasi kekosongan hukum dimungkinkan dengan Perma dengan beberapa catatan yakni tidak mengabaikan due process of law, tidak membuat norma yang menyimpang dari UU, dan tidak membuat norma substantif yang menganulir hak-hak upaya hukum.
Selain itu Suparman menilai adanya potensi konflik kepentingan antara Komisioner KPPU dengan semua temuan investigator yang disebabkan oleh adanya multi peran yang dijalankan oleh KPPU.
Hal ini terlihat dari investigator yang ditugaskan melakukan kegiatan penyelidikan dan penuntutan pada proses pemeriksaan, merupakan subordinat yang bekerja atas perintah dari Komisioner KPPU. Kondisi tersebut bertentangan prinsip-prinsip due process of law serta berpotensi menimbulkan proses persidangan yang sesat di tingkat KPPU.
Kondisi ini yang meyakinkan pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) ini bahwa upaya keberatan memiliki peran penting dalam memberikan keadilan pada semua pihak, baik KPPU maupun para terlapor. Tujuannya tidak lain agar Pengadilan Niaga perlu memberikan kesempatan yang luas kepada pelaku usaha yang hendak menguji Putusan KPPU di Pengadilan Niaga.
Pentingnya due process of law dalam perkara persaingan menurut Suparman menjadi penting karena ketentuan UU Cipta Kerja sangat berpotensi menghasilkan potensi denda yang besar mempertimbangkan tidak adanya batasan pengenaan denda maksimum oleh KPPU. Oleh karena itu, setelah berlakunya UU Cipta Kerja dan PP 44/2021, sudah seharusnya Mahkamah Agung meninjau kembali Perma No. 3/2019 karena sudah tidak relevan lagi.