MA Siapkan Perma Penanganan Perkara Kejahatan Korporasi
Utama

MA Siapkan Perma Penanganan Perkara Kejahatan Korporasi

Penegakan hukum kejahatan korporasi di pengadlilan masih terkendala dalam proses penyidikan dan penuntutan. Banyak payung hukum tapi sedikit yang dibawa ke pengadilan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Bagian dari presentasi kejahatan korporasi. Foto: MYS
Bagian dari presentasi kejahatan korporasi. Foto: MYS
Mahkamah Agung (MA) tengah menggagas terbitnya Peraturan MA (Perma) terkait hukum acara atau tata cara persidangan kejahatan yang dilakukan perusahaan atau korporasi. Selama ini penegakan hukum tindak pidana apapun yang melibatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana diakui belum efektif.

“Proses penyusunan Perma ini, MA melibatkan lembaga/instansi terkait termasuk para hakim tingkat pertama dan banding,” ujar Ketua MA M. Hatta Ali saat jumpa pers di gedung MA, Kamis (30/6).

Hatta Ali mengatakan beberapa bulan terakhir MA tengah menyusun terbitnya Perma Kejahatan Korporasi. Sebab, faktanya sejumlah Undang-Undang (UU) yang telah menjerat korporasi. Namun, persoalannya kejahatan yang dilakukan korporasi masih sangat sedikit yang diproses hingga ke pengadilan.

“Makanya, penyusunan Perma ini kita libatkan juga para hakim tingkat pertama dan banding terutama yang pernah mengadili dan memutus perkara kejahatan korporasi. Kita perlu mengetahui sejauh penanganan tindak pidana korporasi di pengadilan. Apa masalahnya?” kata Hatta Ali.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar mengungkapkan hasil pertemuannya dengan jajaran Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memandang korporasi sebagai subjek hukum seolah kebal hukum. Padahal, ada sekitar 70 UU yang menjerat pertanggungjawaban pidana korporasi, tetapi minim diproses hingga ke pengadilan. Seperti kejahatan pencurian ikan, pembalakan liar, pembakaran hutan, tindak pidana korupsi, atau pencucian uang yang dilakukan korporasi.

Artidjo menilai penegakan hukum kejahatan korporasi di pengadlilan masih terkendala dalam proses penyidikan dan penuntutan yang tertuang dalam surat dakwaan. Dia menduga ada perbedaan pandangan antara aparat penegak hukum mengenai bagaimana pertanggungjawaban kejahatan korporasi. Sebab, peraturan perundang-undangan tak seragam mengatur tentang siapa yang sebenarnya bisa dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi.

Hal ini yang menyebabkan penuntut umum masih kesulitan menyusun dan merumuskan surat dakwaan. Akibatnya, penyidik dan penuntut umum enggan melimpahkan perkara kejahatan korporasi ke pengadilan. Sebab, dalam praktiknya penuntut umum belum memiliki standar bentuk surat dakwaan dalam perkara kejahatan korporasi.

“Karena kesulitan merumuskan surat dakwaan ini, umumnya penuntut umum tidak berani melimpahkan perkara kejahatan korporasi ke pengadilan. Soalnya, KUHAP sendiri belum menentukan petunjuk penyusunan surat dakwaan ketika subjek hukum pelakunya korporasi,” kata Artidjo.

Dalam posisi ini, MA dan pengadilan di bawahnya tidak mungkin proaktif dalam mengadili dan memutus kejahatan korporasi. Pengadilan ketika mengadili perkara kejahatan korporasi sangat bergantung surat dakwaan yang diajukan penuntut umum. Untuk itu, pihaknya bekerja sama dengan sejumlah lembaga seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK, PPATK, dan instansi terkait tengah menyusun Perma tentang Prosedur dan Tata Cara Kejahatan Korporasi termasuk bagaimana petunjuk merumuskan surat dakwaan kejahatan korporasi.

“Perma ini akan segera terbit dengan melibatkan sejumlah instansi. Jadi tidak benar kalau penyusunan Perma ini hanya gawean MA, tetapi kita melibatkan semua stakeholders yang berkepentingan,” tegasnya.

Sebelumnya, KPK pernah mengungkapkanrencana MA akan menerbitkan Perma yang mengatur tata cara persidangan termasuk petunjuk teknis lain yang berhubungan dengan tanggung jawab korporasi pada Maret lalu. Saat itu, pimpinan KPK dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung diundang MA untuk membahas rencana penerbitan Perma tersebut.

Dengan adanya Perma ini, diharapkan aparat penegak hukum mempunyai patokan/standar yang jelas untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi. Apabila Perma ini terbit, KPK akan mulai menindak korporasi sebagai subjek pelaku tindak pidana korupsi dalam upaya memaksimalkan pengembalian kerugian negara.

Soalnya, sejak KPK berdiri, belum pernah menjadikan korporasi sebagai subjek atau tersangka/terdakwa korupsi. Padahal, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) telah memberi instrumen untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Meski instrumen menjerat pelaku korupsi korporasi telah tersedia dalam UU Tipikor, aparat penegak hukum jarang sekali menggunakannya. Salah satu alasan yang pernah disampaikan pimpinan KPK terdahulu adalah sulitnya merumuskan bagaimana tanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Terlebih, belum ada aturan pelaksanaan mengenai hukum acara persidangan bagi pelaku korupsi korporasi. Untuk menyiasati kekurangan itu, KPK dan Kejaksaan pernah mencoba menuntut korporasi turut serta membayar kerugian negara, tetapi kerap gagal lantaran hakim menganggap korporasi dimaksud tidak dijadikan sebagai terdakwa dalam dakwaan.
Tags:

Berita Terkait