Makna Sikap Diam di Mata Hukum
Berita

Makna Sikap Diam di Mata Hukum

Prinsip dalam hukum administrasi negara belum tentu bisa diterapkan pada bidang hukum lain.

Mys/Fat
Bacaan 2 Menit
Sidang perkara korupsi terdakwa Syarifuddin di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: SGP
Sidang perkara korupsi terdakwa Syarifuddin di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: SGP

Diam adalah emas! Begitu kata pribahasa yang sering dikutip. Tetapi sikap diam tak selalu mendatangkan ‘emas’ bagi pejabat publik. Sebaliknya, bisa menjerumuskan seorang pejabat publik ke jurang hukum dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang. Muncul sebuah pertanyaan dasar: apa sebenarnya makna sikap diam di mata hukum.
 

Pertanyaan itulah yang muncul dalam sidang perkara korupsi terdakwa Syarifuddin di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/1). Di ruang sidang, muncul diskusi menarik tentang kekuasaan dan kewenangan, hubungannya dengan sikap diam seorang pejabat publik. Dalam konteks kasus ini, sikap diam Syarifuddin terhadap penjualan boedel pailit dengan status non-boedel yang dilakukan oleh kurator.
 

Adalah Prof Philipus M Hadjon yang memantik diskusi itu. Guru Besar Hukum Administrasi Universitas Airlangga Surabaya ini menyebutkan tidak ada kewajiban tanpa kewenangan. Seorang pejabat tata usaha negara (TUN) yang berwenang menerima suatu permohonan, menjadi kewajibannya untuk menerbitkan keputusan atas permohonan itu. Kalau pejabat TUN tadi tidak melaksanakan kewajibannya, muncul persoalan kewenangan. Katakanlah si pejabat diam alias tak bersikap atas permohonan, maka timbul persoalan.
 

Dalam hukum administrasi, khususnya peradilan tata usaha negara, sikap diam pejabat, bermakna menolak (permohonan). Kalau sudah lewat waktu si pejabat tidak mengeluarkan keputusan dan hanya bersikap diam, berarti si pejabat menolak. “Di bidang TUN, diam artinya menolak,” jelas Prof. Hadjon.
 

Makna ‘menolak’ itulah yang kemudian dikenal sebagai Keputusan TUN fiktif-negatif. Sikap diam seorang pejabat TUN hingga lewat waktu dianggap sebagai keputusan resmi menolak permohonan yang diajukan. Dan sikap demikian, seperti disinggung dalam pasal 3 UU No 5 Tahun 1986, bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
 

Prof Hadjon berkeinginan agar prinsip hukum administrasi itu bisa diterapkan di bidang lain. Dengan kata lain, sikap diam dimaknai menolak perlu dijadikan asas yang berlaku nasional.
 

Benarkah sikap diam selalu dimaknai menolak? Tunggu dulu. Ketua majelis hakim yang menangani perkara Syarifuddin, Gusrizal, punya contoh sebaliknya. Dalam proses legislasi, sikap diam bisa dianggap menyetujui.

Halaman Selanjutnya:
Tags: