Mandat Konstitusi dan Partisipasi Publik yang Diabaikan dalam Kebijakan Publik
Catahu 2020 LBH Jakarta:

Mandat Konstitusi dan Partisipasi Publik yang Diabaikan dalam Kebijakan Publik

Publik kerap merasakan betapa berbagai kritik masyarakat dibungkam. Begitu pula UU yang direvisi seringkali menuai penolakan publik, namun tak dihiraukan pemerintah dan DPR.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Penanganan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang dinilai sarat pelanggaran hukum dan HAM, Kamis (8/10) lalu. Foto: RES
Penanganan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang dinilai sarat pelanggaran hukum dan HAM, Kamis (8/10) lalu. Foto: RES

Kondisi demokrasi di Indonesia terus menurun di pemerintahan Joko Widodo. Begitu pula penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Hal ini nampak terlihat dari kebijakan pemerintah yang terus menjauh dari prinsip konstitusi, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Demikian sekelumit intisari catatan akhir tahun 2020, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

“Mandat konstitusi seringkali diabaikan. Partisipasi masyarakat disisihkan dalam berbagai kebijakan publik,” ujar Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, Minggu (20/12/2020).

Menurutnya, publik merasakan betapa berbagai kritik masyarakat dibungkam. Bahkan, amat represif dengan cara aparat menindak dan menangkap secara sewenang-wenang terhadap demonstran. Banyak pasal dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2016 (UU ITE) yang dijadikan instrumen untuk menangkap masyarakat yang beroposisi. Akibatnya suara-suara kritis terus dibungkam.

Dalam rentang satu tahun terakhir, misalnya, publik seringkali disuguhkan dengan aksi pemerintah yang menabrak hukum, etika, dan HAM dengan serangkaian peristiwa dalam situasi pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. Dia menilai berbagai peristiwa menunjukan betapa pemerintah enggan berkomitmen mengikuti aturan main dalam berdemokrasi.

“Konstitusi dan peraturan perundang-undangan sebagai aturan demokrasi juga tak jarang disimpangi. Masyarakat terus mengalami penindasan dan penderitaan, sementara oligarki mendapat keistimewaan,” kata dia. (Baca Juga: Beragam Indikasi Ruang Gerak Kebebasan Sipil Makin Sempit)

Upaya pemerintah dan DPR saat merevisi berbagai UU tak lepas dari kritik, tapi keduanya seolah tak menggubris atau menghiraukan suara-suara aspirasi masyarakat. Sebut saja, revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang kini menjadi UU No.19 Tahun 2019 yang dianggap melemahkan institusi pemberantasan korupsi. Kemudian revisi UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU No.3 Tahun 2020 yang dianggap malah merusak lingkungan hidup.

Begitu pula lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Beleid ini, dianggap LBH Jakarta membentengi kekuasaan dari kontrol dan pertanggungjawaban hukum atas tindakan yang dilakukannya.

Tak kalah penting, revisi terhadap UU N0.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU No.7 Tahun 2020 yang dinilai mengganggu independensi kekuasaan kehakiman. Puncaknya, Pembahasan RUU yang menguras perhatian dalam satu tahun terakhir adalah disahkannya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mendegradasi perlindungan hak-hak rakyat dan lingkungan.

“UU ini dibuat dengan sangat cepat, tertutup, dan sama sekali tidak partisipatif. Meski mendapatkan penolakan keras dan luas dari publik, Pemerintah dan DPR tidak peduli,” ujarnya.

Selanjutnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Selain itu, RUU tentang Pekerja Rumah Tangga mandek; tidak adanya perlindungan warga dari risiko teror aplikasi pinjaman online; privatisasi air Jakarta; reklamasi teluk Jakarta yang terus berlanjut; hingga masih tidak adanya pengendalian pencemaran udara yang maksimal.

Arif menilai dalam rentang tahun yang sama, praktik perlindungan anak berhadapan dengan hukum terus memburuk karena tidak mendapat sentuhan perbaikan dari negara. Selama pandemi, masukan masyarakat dan para ahli untuk penanganan Covid 19 dianggap angin lalu. Pandemi Covid 19 sebagai masalah kesehatan justru dikelola dengan pendekatan keamanan dan ekonomi. Ketentuan UU Kekarantinaan Kesehatan tidak dijalankan secara konsekuen.

Pengacara publik LBH Jakarta, Muhammad Rasyid Ridha menyoroti masih banyaknya pengaduan masyarakat ke LBH. Dia mencatat sepanjang 2020 LBH Jakarta menerima 963 pengaduan khusus dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 7.242 orang. “Pengadu tersebut terdiri dari 859 pengadu individu dan 104 pengadu kelompok masyarakat,” kata dia.

Dia merinci dari semua pengaduan, terdapat 257 pengaduan kasus terkait masalah perburuhan. Kemudian 225 pengaduan kasus isu perkotaan dan masyarakat urban; 198 pengaduan kasus isu sipil dan politik.  Selanjutnya, 162 pengaduan kasus keluarga; 76 pengaduan kasus perempuan dan anak; dan sisanya ada 348 pengaduan kasus yang sifatnya nonstruktural. “Semua masalah pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, serta pembajakan demokrasi yang terjadi. Ini yang kemudian LBH Jakarta catat dan pantau,” katanya.

Tags:

Berita Terkait