Masyarakat Adat Diimbau Melek Kekayaan Intelektual Komunal
Terbaru

Masyarakat Adat Diimbau Melek Kekayaan Intelektual Komunal

Kekayaan intelektual komunal memiliki potensi yang besar yang bisa dimanfaatkan baik secara ekonomi dan komersial.

CR-27
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi kekayaan intelektual. HOL
Ilustrasi kekayaan intelektual. HOL

Beberapa waktu yang lalu, salah satu merk sepatu internasional yaitu Adidas, mengunggah sebuah peluncuran produk terbaru mereka yang menjadikan gambar Wayang Kulit sebagai gambar pada produk sepatu terbarunya. Warganet Indonesia lantas beramai-ramai menyerbu akun instagram Adidas lantaran Adidas menyebut Wayang Kulit merupakan warisan budaya Malaysia. Merespons hal itu, Adidas lalu mengungkapkan permohonan maaf dengan menghapus unggahan terbarunya tersebut.

Hal ini tidak sekali atau dua kali terjadi. Banyak budaya-budaya asli Indonesia diklaim oleh negara lain, sehingga bentuk perlindungan terhadap hak kekayaan milik Indonesia yang diklaim oleh negara lain ini dipertanyakan.

Kasubdit Pemberdayaan Kekayaan Intelektual DJKI Kemenkumham, Erni Purnamasari, menjelaskan bentuk perlindungan hukum terhadap pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional di Indonesia dalam Live instagram Hukumonline yang bertajuk Jurus Melindungi Budaya Indonesia Lewat Kekayaan Intelektual Komunal, Selasa (7/12).

Wayang Kulit dilindungi di bawah Kekayaan Intelektual yang berperan dalam memberikan perlindungan hukum atas kepemilikan karya intelektual, baik yang bersifat komunal maupun personal yang merupakan basis pengembangan ekonomi kreatif. Perlindungan kekayaan intelektual ini telah menjadi bagian penting dalam pembangunan nasional dan terbukti memberikan kontribusi secara signifikan dalam perkembangan perekonomian nasional dan internasional. Sayangnya, kekayaan intelektual komunal ini belum diatur di Kemenkumham.

“Kekayaan intelektual komunal memiliki hak karena merupakan budaya turun temurun, meski memiliki hak namun kekayaan intelektual komunal perlu perlindungan defensif. Meski belum ada peraturan perundang-undangannya, tapi DJKI sudah siap dengan berkas perlindungan kekayaan intelektual komunal. Khusus ekspresi budaya nasional, perlindungannya dicatatkan di bawah rezim Kemenbudristekdikti terkait pelestarian di bawah UNESCO, sedangkan kekayaan intelektual komunal perlindungannya di bawah WIPO,” jelasnya.

Erni melanjutkan saat ini kekayaan intelektual komunal harus dilindungi. Meski perlindungan kekayaan intelektual komunal saat ini di DJKI belum diatur, namun peraturannya termuat di Pasal 38 Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, di mana diatur ekspresi budaya tradisional yang dipegang oleh negara. (Baca: Perlindungan Hak Cipta bagi Pekerja Seni di Era Digital)

Terkait maraknya pengklaim-an budaya Indonesia, pada tahun 2017 DJKI berinisiasi membentuk pusat data kekayakaan intelektual nasional dan kekayaan intelektual komunal. Seluruh kebudayaan dicatatkan dan hingga kini ada 10 ribu dokumen yang masuk di proses pendaftaran.

Pencatatan ini juga memerlukan kajian dan proses yang cukup lama, sehingga nantinya baru layak diberikan surat pencatatan atau sertifikat untuk pembuktian sebuah budaya itu dimiliki oleh komunitas atau masyarakat adat tertentu.

Erni mengimbau ekspresi budaya tradisional yang dalam hal ini terdapat dalam kekayaan intelektual komunal jangan sampai hilang, karena hal ini memiliki potensi yang besar yang bisa dimanfaatkan baik secara ekonomi dan komersial.

“Tanpa disadari perlindungan kekayaan intelektual dapat meningkatkan perekonomian lokal dan mengurangi impor, karena produk-produk lokal yang dihasilkan adalah yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Perlindungan kekayaan intelektual komunal tentunya secara tidak langsung mencegah klaim negara asing terhadap kreatifitas intelektual masyarakat adat,” ungkapnya.

Terlepas dari bentuk perlindungan yang diberikan negara terhadap kekayaan intelektual komunal, hal yang lebih krusial dalam perlindungan ekspresi budaya tradisional ini adalah bagaimana cara masyarakat mengetahui akan budaya sendiri.

“Ketika banyaknya masyarakat yang tidak mengenal budaya sendiri serta tidak menggunakan budaya tersebut, dan pada yang saat bersamaan ada negara lain yang mengakui budaya itu, ini bukanlah sebuah keanehan, karena kita saja tidak mengenal budaya sendiri,” ungkap Wahyu Aji CEO Good News From Indonesia kepada Hukumonline.

Ia melanjutkan momentum seperti saat ini yang serba digital bisa sangat menguntungkan, karena produk-produk budaya ini sebagian besar bisa menggunakan media sosial yang nantinya akan terdengar oleh negara lain sehingga pengklaim-an ini bisa diminimalisir.

“Kita perlu konduktor yang memiliki kekuatan, disini adalah peran negara. Bagaimana pemerintah turut mendorong serta menginisiasi upaya promosi di bidang budaya yang melibatkan masyarakat dan juga media,” katanya.

Dengan kekayaan budaya yang luar biasa ini ternyata berbanding terbalik dengan pengelolaan data yang masih lemah. Para pelaku budaya saat ini juga masih kebingungan mendata kekayaan intelektual komunal yang mereka miliki, hal inilah fungsi dari peran negara tadi.

Saat ini DJKI telah melakukan lauching pusat data nasional kekayaan intelektual komunal integrasi data dengan tiga kementerian, yaitu Kementerian Kebudayaan Ristek dan Teknologi, Kementerian Pertanian dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hal ini terus dilanjutkan DJKI dengan menjalin kerjasama dengan kementerian lainnya di waktu mendatang.

Tags:

Berita Terkait