Masyarakat Harus Berani Melaporkan Tindak Penyiksaan
Berita

Masyarakat Harus Berani Melaporkan Tindak Penyiksaan

Negara juga harus bertanggung jawab dengan segera merevisi KUHP atau membuat undang-undang yang mengatur tentang penyiksaan

Ady
Bacaan 2 Menit
Seorang anggota LSM yang tergabung dalam JAPI serukan agar segala bentuk tindak penyiksaan dihentikan. Foto: Sgp
Seorang anggota LSM yang tergabung dalam JAPI serukan agar segala bentuk tindak penyiksaan dihentikan. Foto: Sgp

Sejumlah LSM yang tergabung dalam Jaringan Anti Penyiksaan Indonesia (JAPI) menyerukan agar segala bentuk tindak penyiksaan dihentikan. Salah satu bentuk penyiksaan yang disoroti aliansi yang terdiri dari 25 LSM itu adalah tindak penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan seperti polisi, TNI dan Sipir.

Setidaknya terdapat tiga organisasi anggota JAPI yang telah melakukan pemantauan atas tindak penyiksaan yang terjadi di Indonesia yaitu LBH Jakarta, KontraS dan Elsam. Dari penelitian yang dilakukan LBH Jakarta di tahun 2008, ditemukan sebanyak 83,63 persen dari 367 responden mengalami tindak kekerasan ketika menjalani proses di Kepolisian. Proses itu meliputi penangkapan dan pemeriksaan.

Sementara Elsam dalam kurun waktu Januari-April 2012 menemukan 22 kasus penyiksaan di dalam tahanan. Sebanyak 12 kasus dilakukan oleh aparat kepolisian, lima kasus dilakukan aparat rutan dan sisanya dilakukan oleh sesama tahanan. Sedangkan KontraS mencatat tingkat penyiksaan meningkat cenderung meningkat.

Menanggapi meningkatnya tindak penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, Koordinator Akreditor Biro Waprop Divpropam Polri, Kombes Basuki, mengatakan sejak UU Polri diterbitkan, ada upaya untuk melakukan pembenahan terhadap lembaga Kepolisian. Sejalan dengan itu dibentuklah sederet peraturan yang mengatur Polri seperti PP No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri dan lainnya.

Walau sudah terdapat peraturan yang diterbitkan, bukan berarti anggota Polri tidak pernah tersangkut masalah. Dari data yang dihimpun LSM, Basuki mengakui masih ada polisi yang melakukan pelanggaran. Baik itu pelanggaran disiplin, kode etik atau bahkan pidana. Basuki menyebut Polri memiliki sistem internal untuk melakukan penindakan terhadap anggotanya yang melakukan pelanggaran termasuk penyiksaan.

Untuk menindak anggota Polri yang melakukan tindak penyiksaan, Basuki mengimbau kepada masyarakat untuk melaporkan kepada aparat terkait. Pelaporan itu bisa dilakukan ke Propam yang terdapat di tiap Polres. Tentu saja si pelapor diharapkan membawa bukti yang memperkuat laporan tersebut. Selain itu, Basuki menekankan agar masyarakat tidak perlu takut untuk melapor.

“Kita ada alat kelembagaan pelayanan Propam, silakan laporkan” kata Basuki kepada hukumonline usai acara diskusi di kantor LBH Jakarta, Selasa (26/6).

Salah satu unit Polri yang sering diadukan masyarakat kepada Propam terkait tindakan penyiksaan menurut Basuki adalah satuan Reserse. Pasalnya, Reserse melakukan penyidikan dan dalam proses itu tindak kekerasan berpotensi dapat terjadi.

Pada kesempatan yang sama, anggota Kompolnas, Supriyadi Cut Ali, mengatakan peraturan perundang-undangan sudah mengarahkan agar tindakan yang dilakukan aparat kepolisian sejalan dengan penegakan HAM. Walau begitu dia mengakui terdapat tindak penyiksaan yang masih dilakukan oleh anggota Polri sebagaimana yang diberitakan oleh media.

Selama menjabat sebagai anggota Kompolnas dalam kurun waktu satu bulan ini, Supriyadi mengatakan Kompolnas belum banyak mendapat laporan dari masyarakat terkait tindak penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian. Pengaduan yang banyak diterima Komponas untuk saat ini menurut Supriyadi sebagian besar soal penyelewengan wewenang yang dilakukan aparat kepolisian.

Dari pantauannya, Supriyadi menganalisa beberapa penyebab terjadinya tindak penyiksaan, salah satunya menyangkut mentalitas aparat Kepolisian. Supriyadi menyebut dalam proses penahanan, terdapat kondisi tidak setara antara tahanan dengan aparat kepolisian. Dimana aparat kepolisian merasa dirinya berada di tingkat yang lebih tinggi ketimbang tahanannya. Kondisi itu yang memicu aparat kepolisian bertindak sewenang-wenang.

Mantan polisi itu juga menyebut ada kecenderungan korps kepolisian melindungi anggotanya. Misalnya terdapat seorang anggota polisi yang melakukan pelanggaran, maka anggota lainnya atau bahkan atasannya menutupi kesalahan itu. Hal itu menyebabkan seolah-olah tidak terdapat permasalahan yang harus dibenahi, padahal menurut Supriyadi yang terjadi adalah sebaliknya.

Salah satu akibat dari tindakan yang salah itu menurut Supriyadi sampai saat hampir tidak ada aparat kepolisian yang diadili di pengadilan atas tewasnya tahanan. Itulah kenapa Supriyadi berpendapat tindak penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sampai saat ini masih terus terdengar. Apalagi Supriyadi melihat para korban tindak penyiksaan tidak berani melaporkan peristiwa buruk yang dialaminya kepada pihak terkait.

Sementara Direktur Eksekutif Elsam, Indriaswati Dyah Saptaningrum, mengatakan upaya pemerintah untuk mencegah dan memberantas tindak penyiksaan kurang maksimal. Hal itu menurut Indri terlihat dari data yang berhasil dihimpun sejumlah LSM dan lembaga lainnya. Walau begitu Indri yakin masih terdapat banyak kasus tindak penyiksaan yang belum terungkap. Dia berharap data yang diperoleh LSM dapat digunakan sebagai awal untuk membongkar kasus penyiksaan yang lain.

Dari penelitian yang dilakukan Elsam, Indri menyebut korban tindak penyiksaan sebagian besar dialami oleh pelaku kriminal tingkat kecil seperti pencuri motor, telepon genggam dan lainnya. Selain itu korban tindak penyiksaan mayoritas tergolong orang yang kemampuan ekonominya lemah.

Bentuk penyiksaan yang kerap dialami para tahanan menurut Indri biasanya berupa sundutan rokok, pemukulan hingga menindih kaki tersangka dengan kaki meja/kursi. Di kawasan Indonesia Timur, Indri menemukan para tahanan diperintah untuk saling pukul, bahkan ada yang menimbulkan korban tewas. Ironisnya, tindak penyiksaan itu bukan hanya dialami oleh orang dewasa, tapi juga anak-anak.

Salah satu penyebab ringannya ancaman hukuman itu adalah akibat dari belum direvisinya KUHP. Akibatnya tindak penyiksaan belum dilihat sebagai bentuk kejahatan yang serius, padahal di tingkat internasional pandangan yang berkembang adalah sebaliknya. “Penyiksaan itu diakui masyarakat internasional sebagai kejahatan,” tutur Indri.

Dia juga mengingatkan bahwa negara harus bertanggungjawab untuk melakukan perlindungan terhadap masyarakat atas tindak penyiksaan. Selain itu para korban penyiksaan juga harus mendapat perlindungan dan pemulihan. Karena tindak penyiksaan termasuk pelanggaran HAM.

Tags: