Masyarakat Sipil Laporkan Masalah Kebebasan Akademik ke PBB
Terbaru

Masyarakat Sipil Laporkan Masalah Kebebasan Akademik ke PBB

Serangan yang dialami akademisi antara lain penuntutan hukum baik secara perdata ataupun pidana.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Banyaknya kasus yang berkaitan dengan kebebasan akademik menggugah kalangan organisasi masyarakat sipil untuk melaporkannya ke Dewan HAM PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR). Indonesia dijadwalkan mengikuti tinjauan berkala universal itu pada November 2022. Pengajuan UPR itu dilakukan oleh masyarakat sipil yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Scholar at Risk (SAR).

Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti beragam tindakan dan tekanan yang dilakukan aktor negara dan kampus, seperti menghukum dan membungkam kebebasan berpendapat, penyelidikan dan ekspresi akademis terutama yang terjadi sejak Maret 2017. Perwakilan KIKA dari Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah, mengatakan kalangan akademisi kerap mendapatkan serangan penuntutan hukum baik secara perdata maupun pidana.

“Termasuk di bawah jeratan UU ITE yang kontroversial, untuk ekspresi kritis terhadap pemerintah, ketika menjadi saksi dalam persidangan, dan diskusi tentang temuan hasil riset di ruang publik,” kata Herdiansyah dalam diskusi bertema “Kebebasan Akademik Dilaporkan ke PBB: Ada Apa?”, Rabu (18/5/2022).

Represi terhadap kebebasan akademik juga dihadapi mahasiswa yang memprotes ketidakadilan dan mengutuk korupsi dan tindakan pendisiplinan universitas karena mengajukan pertanyaan dan gagasan yang kontroversial. Serta menyoroti “UU Sistem Nasional Iptek” sejak 2019 yang menimbulkan kekhawatiran bagi sarjana lokal atas ruang yang menyusut untuk penelitian yang diizinkan dan pertukaran aktivitas akademik secara internasional.

Akademisi juga kecewa atas ancaman otonomi kampus yang dilakukan melalui sistem pengangkatan rektor yang berpotensi korupsi. Melansir laporan Academic Freedom Index menyebut penghormatan terhadap kebebasan akademik di Indonesia dari 0,75 di tahun 2000 menjadi 0,65 di tahun 2021. Berbagai persoalan ini menimbulkan keprihatinan serius atas masa depan pendidikan tinggi di Indonesia.

Melalui pelaporan yang diajukan itu, Koalisi berharap negara anggota PBB yang mereview Indonesia pada ajang UPR putaran keempat nanti menekankan setidaknya 5 hal. Pertama, melindungi dan mempromosikan kebebasan akademik, otonomi universitas, dan HAM terkait. Kedua, menahan diri dari upaya represif dan upaya kriminalisasi. Ketiga, membentuk ombudsman kampus yang dapat menanggapi masalah kebebasan akademik di masing-masing perguruan tinggi.

Keempat, merevisi UU ITE agar sesuai dengan standar dan kewajiban hukum nasional serta internasional yang berkaitan dengan kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi. Kelima, memperkuat otonomi universitas dan mengantisipasi risiko korupsi di lembaga pendidikan tinggi negeri, termasuk memungkinkan kontrol senat yang lebih besar atas penunjukan rektor.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait